0 Kisah - Kisah Keajaiban Perang di Gaza, Palestina

Senin, 07 Juni 2010 Label:

Gaza, itulah nama hamparan tanah yang luasnya tidak lebih dari 360 km persegi. Berada di bumi Palestin Selatan, “terkepit” di antara tanah yang dikuasai penjajah Zionis Israel, Mesir, dan laut Mediteranian, serta dikepung dengan tembok di sepanjang daratannya.


Sudah lama Israel “bernafsu” menguasai wilayah ini. Namun, jangankan menguasai, untuk bisa masuk ke dalamnya saja Israel sangat kesulitan.

Sudah banyak cara yang mereka lakukan untuk menundukkan kota kecil ini. Blokade rapat yang membuat rakyat Gaza kesulitan memperoleh bahan makanan, obat-obatan, dan energi, telah dilakukan sejak 2006 hingga kini. Namun, penduduk Gaza tetap bertahan, bahkan perlawanan Gaza atas penjajahan Zionis semakin menguat.

Akhirnya Israel melakukan serangan “habis-habisan” ke wilayah ini sejak 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009. Mereka”mengguyurkan” ratusan ton bom dan mengerahkan semua kekuatan hingga pasukan cadangannya.

Namun, sekali lagi, negara yang tergolong memiliki militer terkuat di dunia ini harus mundur dari Gaza.

Di atas kertas, kemampuan senjata AK 47, roket anti tank RPG, ranjau, serta beberapa jenis roket buatan lokal yang biasa dipakai para mujahidin Palestina, tidak akan mampu menghadapi pasukan Israel yang didukung tank Merkava yang dikenal terhebat di dunia. Apalagi menghadapi pesawat tempur canggih F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton “bom canggih” buatan Amerika Serikat.

Akan tetapi di sana ada “kekuatan lain” yang membuat para mujahidin mampu membuat “kaum penjajah” itu hengkang dari Gaza dengan muka tertunduk, walau hanya dengan berbekal senjata-senjata “kuno”.

Itulah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada para pejuangnya yang taat dan ikhlas. Kisah tentang munculnya “pasukan lain” yang ikut bertempur bersama para mujahidin, semerbak harum jasad para syuhada, serta beberapa peristiwa “aneh” lainnya selama pertempuran, telah beredar di kalangan masyarakat Gaza, ditulis para jurnahs, bahkan disiarkan para khatib Palestina di khutbah-khutbah Jumat mereka.

Berikut ini adalah rangkuman kisah-kisah “ajaib” tersebut dari berbagai sumber untuk kita ingat dan renungkan.
Pasukan “Berseragam Putih” di Gaza

Ada “pasukan lain” membantu para mujahidin Palestina. Pasukan Israel sendiri mengakui adanya pasukan berseragam putih itu.

Suatu hari di penghujung Januari 2009, sebuah rumah milik keluarga Dardunah yang berada di antara Jabal Al Kasyif dan Jabal Ar Rais, tepatnya di jalan Al Qaram, didatangi oleh sekelompok pasukan Israel.

Seluruh anggota keluarga diperintahkan duduk di sebuah ruangan. Salah satu anak laki-laki diinterogasi mengenai ciri-ciri para pejuang al-Qassam.

Saat diinterogasi, sebagaimana ditulis situs Filisthin Al Aan (25/1/2009), mengutip cerita seorang mujahidin al-Qassam, laki-laki itu menjawab dengan jujur bahwa para pejuang al-Qassam mengenakan baju hitam-hitam. Akan tetapi tentara itu malah marah dan memukulnya hingga laki-laki malang itu pingsan.

Selama tiga hari berturut-turut, setiap ditanya, laki-laki itu menjawab bahwa para pejuang al-Qassam memakai seragam hitam. Akhirnya, tentara itu naik pitam dan mengatakan dengan keras, “Wahai pembohong! Mereka itu berseragam putih!”

Cerita lain yang disampaikan penduduk Palestina di situs milik Brigade Izzuddin al-Qassam, Multaqa al-Qasami, juga menyebutkan adanya “pasukan lain” yang tidak dikenal. Awalnya, sebuah ambulan dihentikan oleh sekelompok pasukan Israel. Sopirnya ditanya apakah dia berasal dari kelompok Hamas atau Fatah? Sopir malang itu menjawab, “Saya bukan kelompok mana-mana. Saya cuma sopir ambulan.”

Akan tetapi tentara Israel itu masih bertanya, “Pasukan yang berpakaian putih-putih dibelakangmu tadi, masuk kelompok mana?” Si sopir pun kebingungan, karena ia tidak melihat seorangpun yang berada di belakangnya. “Saya tidak tahu,” jawaban satu-satunya yang ia miliki.
Suara Tak Bersumber

Ada lagi kisah karamah mujahidin yang kali ini disebutkan oleh khatib masjid Izzuddin Al Qassam di wilayah Nashirat Gaza yang telah ditayangkan oleh TV channel Al Quds, yang juga ditulis oleh Dr Aburrahman Al Jamal di situs Al Qassam dengan judul Ayaat Ar Rahman fi Jihad Al Furqan (Ayat-ayat Allah dalam Jihad Al Furqan).

Sang khatib bercerita, seorang pejuang telah menanam sebuah ranjau yang telah disiapkan untuk menyambut pasukan Zionis yang melalui jalan tersebut.

“Saya telah menanam sebuah ranjau. Saya kemudian melihat sebuah helikopter menurunkan sejumlah besar pasukan disertai tank-tank yang beriringan menuju jalan tempat saya menanam ranjau,” kata pejuang tadi.

Akhirnya, sang pejuang memutuskan untuk kembali ke markas karena mengira ranjau itu tidak akan bekerja optimal. Maklum, jumlah musuh amat banyak.

Akan tetapi, sebelum beranjak meninggalkan lokasi, pejuang itu mendengar suara “Utsbut, tsabatkallah” yang maknanya kurang lebih, “tetaplah di tempat maka Allah menguatkanmu.” Ucapan itu ia dengar berulang-ulang sebanyak tiga kali.

“Saya mencari sekeliling untuk mengetahui siapa yang mengatakan hal itu kapada saya. Akan tetapi saya malah terkejut, karena tidak ada seorang pun yang bersama saya,” ucap mujahidin itu, sebagaimana ditirukan sang khatib.

Akhirnya sang mujahid memutuskan untuk tetap berada di lokasi. Ketika sebuah tank melewati ranjau yang tertanam, sesualu yang “ajaib” terjadi. Ranjau itu justru meledak amat dahsyat. Tank yang berada di dekatnya langsung hancur. Banyak serdadu Israel meninggal seketika. Sebagian dari mereka harus diangkut oleh helikopter. “Sedangkan saya sendiri dalam keadaan selamat,” kata mujahid itu lagi, melalui lidah khatib.

Cerita yang disampaikan oleh seorang penulis Mesir, Hisyam Hilali, dalam situs alraesryoon.com, ikut mendukung kisah-kisah sebelumnya. Abu Mujahid, salah seorang pejuang yang melakukan ribath (berjaga) mengatakan,

“Ketika saya mengamati gerakan tank-tank di perbatasan kota, dan tidak ada seorang pun di sekitar, akan tetapi saya mendengar suara orang yang bertasbih dan beritighfar. Saya berkali-kali mencoba untuk memastikan asal suara itu, akhirnya saya memastikan bahwa suara itu tidak keluar kecuali dari bebatuan dan pasir.”

Cerita mengenai “pasukan tidak dikenal” juga datang dari seorang penduduk rumah susun wilayah Tal Islam yang handak mengungsi bersama keluarganya untuk menyelamatkan diri dari serangan Israel.

Di tangga rumah ia melihat beberapa pejuang menangis. “Kenapa kalian menangis?” tanyanya.

“Kami menangis bukan karena khawatir keadaan diri kami atau takut dari musuh. Kami menangis karena bukan kami yang bertempur. Di sana ada kelompok lain yang bertempur memporak-porandakan musuh, dan kami tidak tahu dari mana mereka datang,” jawabnya.
Saksi Serdadu Israel

Cerita tentang “serdadu berseragam putih” tak hanya diungkap oleh mujahidin Palestina atau warga Gaza. Beberapa personel pasukan Israel sendiri menyatakan hal serupa.

Situs al-Qassam memberitakan bahwa TV Channel 10 milik Israel telah menyiarkan seorang anggota pasukan yang ikut serta dalam pertempuran Gaza dan kembali dalam keadaan buta.

“Ketika saya berada di Gaza, seorang tentara berpakaian putih mendatangi saya dan menaburkan pasir di mata saya, hingga saat itu juga saya buta,” kata anggota pasukan ini.

Di tempat lain ada serdadu Israel yang mengatakan mereka pernah berhadapan dengan “hantu”. Mereka tidak diketahui dari mana asalnya, kapan munculnya, dan ke mana menghilangnya.

Masih dari Channel 10, seorang Lentara Israel lainnya mengatakan, “Kami berhadapan dengan pasukan berbaju putih-putih dengan jenggot panjang. Kami tembak dengan senjata, akan tetapi mereka tidak mati.”

Cerita ini menggelitik banyak pemirsa. Mereka bertanya kepada Channel 10, siapa sebenarnya pasukan berseragam putih itu?
Sudah Meledak, Ranjau Masih Utuh

Di saat para mujahidin terjepit, hewan-hewan dan alam tiba-tiba ikut membantu, bahkan menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan.

Sebuah kejadian “aneh” terjadi di Gaza Selatan, tepatnya di daerah AI Maghraqah. Saat itu para mujahidin sedang memasang ranjau. Di saat mengulur kabel, tiba-tiba sebuah pesawat mata-mata Israel memergoki mereka. Bom pun langsung jatuh ke lokasi itu.

Untunglah para mujahidin selamat. Namun, kabel pengubung ranjau dan pemicu yang tadi hendak disambung menjadi terputus. Tidak ada kesempatan lagi untuk menyambungnya, karena pesawat masih berputar-putar di atas.

Tak lama kemudian, beberapa tank Israel mendekati lokasi di mana ranjau-ranjau tersebut ditanam. Tak sekadar lewat, tank-tank itu malah berhenti tepat di atas peledak yang sudah tak berfungsi itu.

Apa daya, kaum Mujahidin tak bisa berbuat apa-apa. Kabel ranjau jelas tak mungkin disambung, sementara tank-tank Israel telah berkumpul persis di atas ranjau.

Mereka merasa amat sedih, bahkan ada yang menangis ketika melihat pemandangan itu. Sebagian yang lain berdoa, “allahumma kama lam tumakkinna minhum, allahumma la tumakkin lahum,” yang maknanya, “Ya Allah, sebagaimana engkau tidak memberikan kesempatan kami menghadapi mereka, jadikanlah mereka juga lidak memiliki kesempatan serupa.”

Tiba-tiba, ketika fajar tiba, terjadilah keajaiban. Terdengar ledakan dahsyat persis di lokasi penanaman ranjau yang tadinya tak berfungsi.

Setelah Tentara Israel pergi dengan membawa kerugian akibat ledakan lersebut, para mujahidin segera melihal lokasi ledakan. Sungguh aneh, ternyata seluruh ranjau yang telah mereka tanam itu masih utuh. Dari mana datangnva ledakan? Wallahu a’lam.

Masih dari wilayah Al Maghraqah. Saat pasukan Israel menembakkan artileri ke salah satu rumah, hingga rumah itu terbakar dan api menjalar ke rumah sebelahnya, para mujahidin dihinggapi rasa khawatir jika api itu semakin tak terkendali.

Seorang dari mujahidin itu lalu berdoa,”Wahai Dzat yang merubah api menjadi dingin dan tidak membahayakan untuk Ibrahim, padamkanlah api itu dengan kekuatan-Mu.”

Maka, tidak lebih dari tiga menit, api pun padam. Para niujahidin menangis terharu karena mereka merasa Allah Subhanuhu wa Ta’ala (SWT) telah memberi pertolongan dengan terkabulnya doa mereka dengan segera.
Merpati dan Anjing

Seorang mujahid Palestina menuturkan kisah “aneh” lainnya kepada situs Filithin Al Aan (25/1/ 2009). Saat bertugas di wilayah Jabal Ar Rais, sang mujahid melihat seekor merpati terbang dengan suara melengking, yang melintas sebelum rudal-rudal Israel berjatuhan di wilayah itu.

Para mujahidin yang juga melihat merpati itu langsung menangkap adanya isyarat yang ingin disampaikan sang merpati.

Begitu merpali itu melintas, para mujahidin langsung berlindung di tempat persembunyian mereka. Ternyata dugaan mereka benar. Selang beberapa saat kemudian bom-bom Israel datang menghujan. Para mujahidin itu pun selamat.

Adalagi cerita “keajaiban” mengenai seekor anjing, sebagaimana diberitakan situs Filithin Al Aan. Suatu hari, tatkala sekumpulan mujahidin Al Qassam melakukan ribath di front pada tengah malam, tiba-tiba muncul seekor anjing militer Israel jenis doberman. Anjing itu kelihatannya memang dilatih khusus untuk membantu pasukan Israel menemukan tempat penyimpanan senjata dan persembunyian para mujahidin.

Anjing besar ini mendekat dengan menampakkan sikap tidak bersahabat. Salah seorang mujahidin kemudian mendekati anjing itu dan berkata kepadanya, “Kami adalah para mujahidin di jalan Allah dan kami diperintahkan untuk tetap berada di tempat ini. Karena itu, menjauhlah dari kami, dan jangan menimbulkan masalah untuk kami.”

Setelah itu, si anjing duduk dengan dua tangannya dijulurkan ke depan dan diam. Akhirnya, seorang mujahidin yang lain mendekatinya dan memberinya beberapa korma. Dengan tenang anjing itu memakan korma itu, lalu beranjak pergi.
Kabut pun Ikut Membantu

Ada pula kisah menarik yang disampaikan oleh komandan lapangan Al Qassam di kamp pengungsian Nashirat, langsung setelah usai shalat dhuhur di masjid Al Qassam (17/1/2009).

Saat itu sekelompok mujahidin yang melakukan ribath di Tal Ajul terkepung oleh tank-tank Israel dan pasukan khusus mereka. Dari atas, pesawat mata-mata terus mengawasi.

Di saat posisi para mujahidin terjepit, kabut tebal tiba-tiba turun di malam itu. Kabut itu lelah menutupi pandangan mata tentara Israel dan membantu pasukan mujahidin keluar dari kepungan.

Kasus serupa diceritakan oleh Abu Ubaidah. salah satu pemimpin lapangan Al Qassam, sebagaimana ditulis situs almesryoon.com (sudah tidak bisa diakses lagi). la bercerita bagaimana kabut tebal tiba-tiba turun dan membatu para mujahidin untuk melakukan serangan.

Awalnya, pasukan mujahiddin tengah menunggu waktu yang tepat untuk mendekati tank-tank tentara Israel guna meledakkannya. “Tak lupa kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan untuk melakukan serangan ini,” kata Abu Ubaidah.

Tiba-tiba turunlah kabut tebal di tempat tersebut. Pasukan mujahidin segera bergerak menyelinap di antara tank-tank, menanam ranjau-ranjau di dekatnya, dan segera meninggalkan lokasi tanpa diketahui pesawat mata-mata yang memenuhi langit Gaza, atau oleh pasukan infantri Israel yang berada di sekitar kendaraan militer itu. Lima tentara Israel tewas di tempat dan puluhan lainnya luka-luka setelah ranjau-ranjau itu meledak.
Selamat Dengan al-Qur’an

Cerita ini bermula ketika salah seorang pejuang yang menderita luka memasuki rumah sakit As Syifa’. Seorang dokter yang memeriksanya kaget ketika mengelahui ada sepotong proyektil peluru bersarang di saku pejuang tersebut.

Yang membuat ia sangat kaget adalah timah panas itu gagal menembus jantung sang pejuang karena terhalang oleh sebuah buku doa dan mushaf al-Qur’an yang selalu berada di saku sang pejuang.

Buku kumpulun doa itu berlobang, namun hanya sampul muka mushaf itu saja yang rusak, sedangkan proyektil sendiri bentuknya sudah “berantakan”.

Kisah ini disaksikan sendiri oleh Dr Hisam Az Zaghah, dan diceritakannya saat Festival Ikatan Dokter Yordan sebagaimana ditulis situs partai Al Ikhwan Al Muslimun (23/1/2009).

Dr. Hisam juga memperlihatkan bukti berupa sebuah proyektil peluru, mushaf Al Qur’an, serta buku kumpulan doa-doa berjudul Hishnul Muslim yang menahan peluru tersebut.

Abu Ahid, imam Masjid AnNur di Hay As Syeikh Ridzwan, juga punya kisah menarik. Sebelumnya, Israel telah menembakkan 3 rudalnya ke masjid itu hingga tidak tersisa kecuali hanya puing-puing bangunan. “Akan tetapi mushaf-mushaf Al Quran tetap berada di tampatnya dan tidak tersentuh apa-apa,” ucapnya seraya tak henti bertasbih.

“Kami temui beberapa mushaf yang terbuka tepat di ayat-ayat yang mengabarkan tentang kemenangan dan kesabaran, seperti firman Allah, ‘Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali,”(Al-Baqarah [2]: 155-156),” jelas Abu Ahid sebagaimana dikutip Islam Online (15/1/2009).
Harum Jasad Para Syuhada

Abdullah As Shani adalah anggota kesatuan sniper (penembak jitu) al-Qassam yang menjadi sasaran rudal pesawat F-16 Israel ketika sedang berada di pos keamanan di Nashirat, Gaza.

Jasad komandan lapangan al-Qassam dan pengawal khusus para tokoh Hamas ini “hilang” setelah terkena rudal. Selama dua hari jasad tersebut dicari, ternyata sudah hancur tak tersisa kecuali serpihan kepala dan dagunya. Serpihan-serpihan tubuh itu kemudian dikumpulkan dan dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya untuk dimakamkan.

Sebelum dikebumikan, sebagaimana dirilis situs syiria-aleppo. com (24/1/2009), serpihan jasad tersebut sempat disemayamkan di sebuah ruangan di rumah keluarganya. Beberapa lama kemudian, mendadak muncul bau harum misk dari ruangan penyimpanan serpihan tubuh tadi.

Keluarga Abdullah As Shani’ terkejut lalu memberitahukan kepada orang-orang yang mengenal sang pejuang yang memiliki kuniyah (julukan) Abu Hamzah ini.

Lalu, puluhan orang ramai-ramai mendatangi rumah tersebut untuk mencium bau harum yang berasal dari serpihan-serpihan tubuh yang diletakkan dalam sebuah kantong plastik.

Bahkan, menurut pihak keluarga, 20 hari setelah wafatnya pria yang tak suka menampakkan amalan-amalannya ini, bau harum itu kembali semerbak memenuhi rungan yang sama.

Cerita yang sama terjadi juga pada jenazah Musa Hasan Abu Nar, mujahid Al Qassam yang juga syahid karena serangan udara Israel di Nashiriyah. Dr Abdurrahman Al Jamal, penulis yang bermukim di Gaza, ikut mencium bau harum dari sepotong kain yang terkena darah Musa Hasan Abu Nar. Walau kain itu telah dicuci berkali-kali, bau itu tetap semerbak.

Ketua Partai Amal Mesir, Majdi Ahmad Husain, menyaksikan sendiri harumnya jenazah para syuhada. Sebagaunana dilansir situs Al Quds Al Arabi (19/1/2009), saat masih berada di Gaza, ia menyampaikan, “Saya telah mengunjungi sebagian besar kota dan desa-desa. Saya ingin melihat bangunan-bangunan yang hancur karena serangan Israel. Percayalah, bahwa saya mencium bau harumnya para syuhada.”
Dua Pekan Wafat, Darah Tetap Mengalir

Yasir Ali Ukasyah sengaja pergi ke Gaza dalam rangka bergabung dengan sayap milisi pejuang Hamas, Brigade Izzuddin al-Qassam. Ia meninggalkan Mesir setelah gerbang Rafah, yang menghubungkan Mesir-Gaza, terbuka beberapa bulan lalu.

Sebelumnya, pemuda yang gemar menghafal al-Qur’an ini sempat mengikuti wisuda huffadz (para penghafal) al-Qur’an di Gaza dan bergabung dengan para mujahidin untuk memperoleh pelatihan militer. Sebelum masuk Gaza, di pertemuan akhir dengan salah satu sahabatnya di Rafah, ia meminta didoakan agar memperoleh kesyahidan.

Untung tak dapat ditolak, malang tak dapat diraih, di bumi jihad Gaza, ia telah memperoleh apa yang ia cita-citakan. Yasir syahid dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Israel di kamp pengungsian Jabaliya.

Karena kondisi medan, jasadnya baru bisa dievakuasi setelah dua pekan wafatnya di medan pertempuran tersebut.

Walau sudah dua pekan meninggal, para pejuang yang ikut serta melakukan evakuasi menyaksikan bahwa darah segar pemuda berumur 21 tahun itu masih mengalir dan fisiknya tidak rusak. Kondisinya mirip seperti orang yang sedang tertidur.

Sebelum syahid, para pejuang pernah menawarkan kepadanya untuk menikah dengan salah satu gadis Palestina, namun ia menolak. “Saya meninggalkan keluarga dan tanah air dikarenakan hal yang lebih besar dari itu,” jawabnya.

Kabar tentang kondisi jenazah pemuda yang memiliki kuniyah Abu Hamzah beredar di kalangan penduduk Gaza. Para khatib juga menjadikannya sebagai bahan khutbah Jumat mereka atas tanda-tanda keajaiban perang Gaza. Cerita ini juga dimuat oleh Arab Times (7/2/ 2009)
Terbunuh 1.000, Lahir 3.000

Hilang seribu, tumbuh tiga ribu. Sepertinya, ungkapan ini cocok disematkan kepada penduduk Gaza. Kesedihan rakyat Gaza atas hilangnya nyawa 1.412 putra putrinya, terobati dengan lahirnya 3.700 bayi selama 22 hari gempuran Israel terhadap kota kecil ini.

Hamam Nisman, Direktur Dinas Hubungan Sosial dalam Kementerian Kesehatan pemerintahan Gaza menyatakan bahwa dalam 22 hari 3.700 bayi lahir di Gaza. “Mereka lahir antara tanggal 27 Desember 2008 hingga 17 Januari 2009, ketika Israel melakukan serangan yang menyebabkan meninggalnya 1.412 rakyat Gaza, yang mayoritas wanita dan anak-anak,” katanya.

Bulan Januari tercatat sebagai angka kelahiran tertinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. “Setiap tahun 50 ribu kasus kelahiran tercatat di Gaza. Dan, dalam satu bulan tercatat 3.000 hingga 4.000 kelahiran. Akan tetapi di masa serangan Israel 22 hari, kami mencatat 3.700 kelahiran dan pada sisa bulan Januari tercatat 1.300 kelahiran. Berarti dalam bulan Januari terjadi peningkatan kelahiran hingga 1.000 kasus.

Rasio antara kematian dan kelahiran di Gaza memang tidak sama. Angka kelahiran, jelasnya lagi, mencapai 50 ribu tiap tahun, sedang kematian mencapai 5 ribu.
“Israel sengaja membunuh para wanita dan anak-anak untuk menghapus masa depan Gaza. Sebanyak 440 anak-anak dan 110 wanita telah dibunuh dan 2.000 anak serta 1.000 wanita mengalami luka-luka.

sumber :

http://www.sayakasihtahu.com/2010/04/kisah-kisah-keajaiban-perang-di-gaza.html#ixzz0q83E6Wwj
http://www.renjuna.com/2010/06/07/kisah-kisah-keajaiban-perang-di-gaza-palestina/

0 KROMOSOM POLITEN

Minggu, 06 Juni 2010 Label:

I. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami struktur dan bagian dari kromosom politen
Drosophila melanogaster.
2. Mengetahui dan memahami proses pembentukan kromosom politen.
3. Mengetahui dan memahami perbedaan antara kromosom politen dan
kromosom biasa.

II. TEORI
Kemampuan organisme untuk memproduksi jenisnya merupakan salah satu karakteristik yang paling bisa membedakan antara makhluk hidup dengan benda mati. Hal ini terjadi karena setiap sel memiliki materi genetik yang mempengaruhi metabolisme dalam diri mereka. Materi genetik tersebut merupakan kompleks protein-DNA, yang disebut kromatin, diorganisasikan menjadi serat yang tipis dan panjang. Kromatin
dari setiap kromosom menempati area-area terbatas di dalam nukleus interfase, dan serat kromatin yang berisi kromosom berbeda-beda tidak akan saling membelit antara satu sama lain. Bahkan selama interfase, ada beberapa porsi (kadar) dari kromosom tertentu pada beberapa sel yang hadir dalam keadaan yang sangat padat (pita gelap) disebut heterokromatin. Pembentukan heterokromatin merupakan semacam penyesuaian kasar pada kontrol ekspresi gen, karena DNA heterokromatin tidak ditranskripsi (Campbell dkk. 2002: 222, 369).
Eukromatin merupakan bagian kromosom yang hanya dapat dilihat setelah kromosom memadat pada saat mitosis atau meiosis. Eukromatin hanya mengalami sedikit pemadatan dan berwarna lebih terang bila diamati di bawah mikroskop. Eukromatin mengandung sedikit DNA tetapi hampir semua dapat diekspresikan atau hampir semua adalah gen (Fairbanks & Andersen 1999: 307).
Perkembangan interfase pada setiap sel terkadang mengalami pembengkakkan dalam memproduksi kromosom sehingga menjadikannya kromosom dalam jumlah besar disebut kromosom politen. Kromosom politen memiliki ukuran lebih besar dari kromosom biasanya yaitu dapat mencapai seratus kali. Struktur politen dibentuk dari pengulangan replikasi DNA dalam satu lekat kromosom homolog yang bersinapsis tanpa mengulangi pemisahan kromatin tersebut (Hartl. 2005:272).
Pembentukan kromosom politen awalnya hampir sama dengan pembentukan kromosom pada umumnya. Hanya saja perbedaannya diketahui setelah melewati fase G1 atau fase pertumbuhan dan fase S atau fase sintesis DNA, sel melewatkan fase G2 atau fase pengecekan dan fase M atau fase mitotik. Saat fase G1, sel mengalami pertumbuhan seperti biasa, kemudian memasuki fase S, DNA mulai bereplikasi, tetapi karena fase G2 dan fase M dilewatkan, maka siklus akan kembali lagi ke fase G1. Hal tersebut terjadi berulang-ulang, sehingga DNA mengalami replikasi terus-menerus tetapi tidak diikuti dengan pembelahan sel atau intinya. Replikasi DNA yang berulang-ulang tanpa disertai pembelahan sel menyebabkan volume sel tersebut terus meningkat. Peristiwa tersebut dinamakan endoreduplikasi. Endoreduplikasi juga menjadi salah satu penyebab mengapa kromosom politen memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ukuran kromosom biasa (Passarge 2007: 178).
Makhluk hidup membentuk kromosom politen disebabkan karena untuk pertumbuhannya mahkluk hidup membutuhkan sejumlah protein-DNA yang banyak, dalam hal ini, umumnya terjadi pada larva-larva, seperti kelompok serangga Diptera (nyamuk, lalat dan sebagainya). Hal tersebut disebabkan pada fase larva sangat membutuhkan asupan protein untuk melanjutkan pertumbuhannya menjadi bentuk dewasa (Suryo. 1995: 78).
Percobaan yang dilakukan oleh praktikan menggunakan larva (instar III) Drosophila melanogaster. Hal ini disebabkan instar III memiliki ukuran panjang kira-kira 4,5 milimeter dan pada fase ini larva sudah memiliki organ lengkap sebagai persiapan proses pembentukan pupa hingga menjadi lalat dewasa sehingga larva larva tersebut sangat membutuhkan protein dalam jumlah besar untuk pertumbuhannya dan kromosom politen dapat memberikan suplai protein tersebut. Kelebihan rantai DNA pada kromosom politen menyebabkan kromosom tersebut berukuran sangat besar dan membuat kromosom tersebut mudah dilihat di bawah mikroskop (Fairbanks dan Andersen 1999: 307--308).
Proses pembuktian ini mengunakan beberapa organ pada lalat Drosophila melanogaster terutama yang mengandung banyak kromosom politen, seperti kelenjar saliva, proventrikel, lambung tengah, tubulus malphigi dan rektum. Jika diperhatikan dengan cermat organ–organ tersebut merupakan organ sistem pencernaan makanan pada larva tersebut. Hal tersebut disebabkan sel-sel penyusunan tidak membelah lagi, namun menjadi semakin besar mengikuti perkembangan larva hingga membentuk pupa. Diantara contoh yang disebutkan kelenjar saliva mengandung lebih banyak kromosom politen dengan mencapai ukuran kira-kira 100 kali panjangnya kromosom tubuh lalat dewasa atau kira-kira 500 mikron (0,5 mm) (Suryo. 1995: 80).
Pada kelenjar saliva sel, kromosom bersinapsis satu sama lain dan melakukan pengulangan untuk membentuk satu struktur politen. Struktur kromosom politen terdiri dari lima lengan yang keluar dari kromosenter. Lengan tersebut mengandung kromonema dan gen. Oleh sebab itu, kromosom 2 dan 3 punya dua lengan tangan yang menyebar dari kromosenter sementara X dan Y dan kromosom 4 punya pemroyeksian
lengan tunggal dari kromosenter (Brooker. 2005). Kromosom politen memiliki beberapa bagian yang tiap-tiap bagiannya memiliki fungsi yang berbeda. Bagian pertama adalah kromosenter berfungsi sebagai tempat melekatnya lima lengan panjang
kromosom (heterokromatin dan sentromer). Kedua adalah kromonemata merupakan sejumlah benang-benang kromatin yang sangat banyak dan saling menyatu terorganisasi (Stansfield. 1991: 189). Ketiga adalah Band merupakan struktur yang lebih gelap karena bentuknya lebih padat, tetapi mengandung sedikit gen. Keempat adalah Interband kebalikan dari Band merupakan struktur yang terlihat lebih terang dan mengandung banyak gen-gen serta aktif dalam melakukan transkripsi dan kelima adalah Puff merupakan bagian dari kromosom politen yang terlihat transparan atau terang, tidak membentuk ikatan seperti band dan interband dan aktif melakukan transkripsi gen (Goodenough dkk. 1974: 141--142).
Praktikum pengisolasian larva tersebut menggunakan larutan Ringer yang berfungsi sebagai larutan fisiologis bagi larva instar III Drosophila melanogaster. Tubuh larva instar tidak akan kekeringan selama berada dalam larutan, karena bersifat isotonis terhadap permukaan tubuh larva instar (Ashburner 1989: 33--34).
Kromosom politen memiliki beberapa aplikasi terhadap makhluk hidup. Aplikasi pertama yaitu kromosom politen dapat menyediakan visualisasi perisiwa transkripsi akibat transkripsi gen (Voet D. & Voet J.G. 1990: 1041). Replikasi DNA yang berjalan terus menerus tanpa diikuti dengan pembelahan sel atau intinya, menyebabkan volume sel terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan kromosom politen memiliki bentuk yang sangat besar bila dibandingkan dengan kromosom lainnya.
(Passarge 2007: 178).
Aplikasi yang lain dari kromosom politen adalah untuk perbanyakan gen, dapat dilakukan karena pada kromosom politen memiliki banyak sekali lengan-lengan yang kromosom yang mengandung gen, sehingga untuk membuat perbanyakannya cukup dilihat kromosom politennya saja; untuk menentukan lokasi gen dan perubahan struktur dalam kromosom, karena pada kromosom politen memiliki kromosom X yang dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya mutasi dan kerusakan-kerusakan atau keabnormalan yang terjadi pada kromosom (Watson dkk. 2004: 700).

III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. ALAT
Alat yang digunakan dalam praktikum pengamatan kromosom politen pada kelenjar saliva Drosophila melanogaster adalah mikroskop cahaya, mikroskop stereo, kaca objek, kaca penutup, cawan petri dan jarum sonde.
B. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pengamatan kromosom politen pada kelenjar saliva Drosophila melanogaster adalah larva instar III Drosophila melanogaster (Gambar 2), kertas penghisap, pewarna asetokarmin, dan larutan Ringer (larutan NaCl 0,9%).
C. CARA KERJA
1. Satu tetes larutan Ringer diteteskan pada kaca objek.
2. Seekor larva Drosophila melanogaster (instar III) diletakkan pada tetes larutan tersebut.
3. Kaca objek kemudian diletakkan di bawah mikroskop stereo, dan dilakukan isolasi kelenjar ludah dengan cara:
a. larva ditusuk dengan jarum sonde,
b. jarum sonde lain ditusukkan di daerah mulut,
c. bagian mulut ditarik ke depan dengan hati-hati,
d. kelenjar ludah akan segera tampak, seperti sepasang kantung berwarna putih transparan (bening),
e. kelenjar ludah kemudian dibersihkan dari lemak dan bagian-bagian lain yang masih melekat,
f. sisa tubuh yang tidak diperlukan dibuang.
4. Satu tetes zat warna asetokarmin diteteskan pada kelenjar ludah, pewarnaan dilakukan selama 10--15 menit.
5. Secara hati-hati, kaca penutup ditaruh di atas kaca objek.
6. Kaca objek diletakkan di antara lipatan kertas penghisap.
7. Ibu jari ditekan di atas kaca objek secara hati-hati.
8. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya dan struktur kromosom politen yang diamati digambar.

IV. HASIL PENGAMATAN
Gambar :
Kromosom politen D. melanogaster
Preparat :
Kelenjar ludah D. melanogaster segar
Pewarnaan : Asetokarmin
Perbesaran : 10 x 10
Keterangan:
1. Kromosom politen

V. PEMBAHASAN
Praktikum genetika mengenai kromosom politen menggunakan kelenjar saliva atau kelenjar ludah dari larva instar III Drosophila melanogaster. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DNA mengalami replikasi yang terus-menerus tanpa diikuti oleh pembelahan sel, sehingga volume sel semakin lama semakin meningkat (Passarge 2007: 178).
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum diantaranya mikroskop stereo untuk memudahkan mengambil kelenjar saliva pada larva. Mengambil kelenjar saliva dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian yang sangat tinggi karena kelenjar saliva sulit dibedakan antara satu dengan lainnya. Mikroskop cahaya untuk mengamati letak kromosom politen yang ada di preparat baru. Alat berikutnya yang digunakan adalah kaca objek dan penutup gelas untuk membuat preparat, jarum sonde untuk membedah larva, dan cawan petri untuk wadah larutan Ringer dengan larva secara sementara (pemberian tahap awal).
Bahan-bahan yang digunakan adalah larva instar III Drosophila melanogaster karena larva tersebut sudah memiliki organ-organ pembantu pencernaan secara lengkap, seperti kelenjar saliva yang mengandung enzim. Hal tersebut dilakukan karena enzim yang yang dikeluarkan merupakan susunan polipeptida yang didalamnya mengandung gen atau DNA, sehingga dapat diketahui kromosom politen yang ada di dalamnya. Selain mengetahui kromosom politen, proteinnya juga sebagai membantu dalam pembentukan organ-organ pada larva sekaligus mempersiapkan diri untuk membentuk pupa (Hartl.2005: 272).
Hal pertama yang praktikan lakukan adalah meneteskan larutan Ringer secukupnya ke dalam cawan petri yang telah dibersihkan. Larutan Ringer adalah larutan NaCl 0,9 %. Maksudnya adalah dalam 1 liter air dimasukkan natrium klorida sebanyak 0,9 gram. Fungsi larutan Ringer adalah sebagai larutan fisiologis bagi larva instar III Drosophila melanogaster. Tubuh larva instar tidak akan kekeringan selama berada dalam larutan, karena bersifat isotonis terhadap permukaan tubuh larva instar (Ashburner 1989: 33--34).
Praktikan mengambil dan mengisolasi larva instar III Drosophila melanogaster dari media ke dalam larutan setelah larutan Ringer siap. Praktikan mengambil larva instar sebanyak 3--5 ekor untuk satu preparat. Praktikan mengamati larva instar yang telah dipindahkan ke dalam larutan dengan menggunakan mikroskop. Mikroskop yang digunakan adalah jenis mikroskop stereo. Penggunaan mikroskop stereo berfungsi agar spesimen yang diamati di bawah mikroskop dapat terlihat lebih jelas bila dibandingkan dengan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya. Hal tersebut karena mikroskop stereo memiliki medan kerja yang lebih besar, sedangkan mikroskop cahaya memiliki medan kerja yang terlalu kecil (Vodopich & Moore 2005: 3--4).
Larva instar III diiosolasi kelenjar ludah nya dengan cara menusuk kepala dan badannya dengan jarum sonde dan dengan perlahan ditarik kea rah yang berlawanan. Prosedur tersebut dilakukan di bawah mikroskop untuk memudahkan praktikan karena ukuran larva yang cukup kecil. Bagian kelenjar ludah larva dibersihkan dari lemak dan kotoran yang masih menempel setelah kepala dan badannya terpisah. Kelenjar ludah yang telah dibersihkan diletakkan di atas kaca objek yang telah dibersihkan. Satu kaca objek paling tidak diletakkan 3-5 kelenjar ludah larva. Larutan asetokarmin diteteskan secukupnya di atas sediaan dan didiamkan selama 10--15 menit. Tujuan pewarnaan menggunakan pewarna asetokarmin adalah untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap kelenjar ludah larva instar. Pewarnaan selama 15 menit bertujuan agar pewarnaan berjalan dengan maksimal (Jones & Rickards 1991: 17).
Setelah 15 menit, kaca objek yang berisi preparat ditutup dengan kaca penutup. Kaca penutup ditekan-tekan dengan perlahan dan hati-hati. Tujuannya adalah agar sel-sel menyebar dan memisah sehingga memudahkan praktikan dalam pengamatan di bawah mikroskop. Sambil ditekan, cairan asetokarmin yang keluar dari sisi-sisi gelas penutup dibersihkan dengan menggunakan tisu. Pembuatan preparat selesai, kemudian dilanjutkan dengan pengamatan di bawah mikroskop. Pengamatan dilakukan dengan perbesaran rendah dan secara bertahap diulangi dengan perbesaran yang lebih tinggi (Jones & Rickards 1991: 18).
Praktikan agak sulit dalam menemukan kromosom politen. Beberapa kali mengulang langkah kerja secara hati-hati tetapi kromosom politen masih sulit juga untuk ditemukan. Tepatnya praktikan hanya menemukan sepasang kelenjar ludah untuk setiap kepala larva. Setelah percobaan kesekian kalinya, akhirnya mendapatkan kromosom politen, walaupun dengan struktur dan bagian yang kurang jelas (Gambar 5). Hal tersebut dapat disebabkan karena preparat yang dibuat terlalu banyak menggunakan pewarna asetokarmin dan kurang dalam penekanan..
Berdasakan dengan literatur yang ada bagian yang terlihat oleh kami adalah bentuk kromosom politen yang belum membuka lengan-lengannya. Di preparat terlihat seperti bulatan-bulatan yang besar, tetapi terlihat perbedaan antara band dan interband-nya. Namun, secara konsep yang ada sudah sesuai bahwa dalam fase interfase seekor larva membuat kromosom politen dalam jumlah besar karena hal tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk pembentukan protein pada saat larva akan berkembang menjadi dewasa.

IV. KESIMPULAN
1. Struktur kromosom politen Drosophila melanogaster terdiri dari lima lengan kromosom yang dilekatkan oleh sebuah struktur di tengahnya yang disebut dengan kromosenter. Lima lengan tersebut berturut-turut adalah kromosom-X, lengan kanan dan kiri masing-masing untuk kromosom nomor 2 dan 3, serta kromosom nomor 4 yang sangat kecil sehingga secara keseluruhan kromosom politen tampak hanya memiliki 5 lengan.
2. Bagian-bagian kromosom politen Drosophila melanogaster terdiri dari kromosenter, kromonemata, pita band dan interband, dan puff.
3. Perbedaan kromosom politen dengan kromosom biasa adalah kromosom politen mempunyai ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kromosom biasa, karena dalam siklusnya kromosom politen hanya mengalami fase pertumbuhan (interfase) dan replikasi DNA tanpa disertai dengan pembelahan sel atau intinya, sehingga mengalami penggandaan replikasi DNA yang disebut dengan reduplikasi DNA.

V. DAFTAR ACUAN
Brooker, Robert J. 2005. Genetics : Analysis & Principle. McGraw Hill,
New York: xxii + 211 hlm.
Campbell, N.A., J.B. Reece, & L.G. Mitchell. 2002. Biologi. Edisi kelima-Jilid-1. Terj. dari Biology oleh Lestari, R. Erlangga, Jakarta: xxi + 438 hlm.
Fairbanks, D.J. & W.R. Andersen. 1999. Genetics: The continuity of life. Brooks/cole Publishing Company, Pacific Groove: xix + 820 hlm.
Goodenough, U & Levine, R.P. 1974. Genetics. Holt, Rinehart and
Winston, United States of America: xiv + 141--142 hlm.
Hartl, D.L. dan Elizabeth W. Jones. 2005. Genetics: Analysis of genes and
genomes. Ed. ke-6. Jones and Bartlett Publishers, Inc. Sudbury: xxv
+ 854 hlm.
Sadava, D. 2004. Life: The science of biology. 5th ed. Sinauer Associates, Inc., New York: 1243 hlm.
Stansfield,w.d . Theory and problem of genetics,second edition. Teori dan soal2 genetika,. Alih bahasa Machidin Apandi & Lanny.T. Hardy,McGraw hill 1983, terj. Erlangga 1991,jakarta . Viii + 417 hlm.
Suryo, 1995. Sitogenetika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: xii + 531 hlm.
Vodopich & Moore. 2005. Biology: Laboratory manual. 7th ed. McGraw-Hill. New York: ix + 555 hlm.
Watson, Baker, Bell, Gann, Lavine & Losick. 2004. Molecular biology of the gene. Pearson Education, New York: xxix + 732 hlm.

0 PEMISAHAN BIOKIMIAWI PIGMEN MATA Drosophila melanogaster DENGAN KROMATOGRAFI KERTAS DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Rabu, 02 Juni 2010 Label:

I. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami teknik pemisahan pigmen mata Drosophila
melanogaster dengan metode kromatografi lapis tipis (TLC) dan
kromatografi kertas (PC).
2. Mengetahui perbedaan teknik kromatografi kertas dan kromatografi
lapis tipis.
3. Membandingkan kromatogram Wild-type dengan mutan jantan dan
betina.

II. TEORI
Praktikum sebelumnya telah kita kita lihat bahwa fenotip Drosophila melanogaster normal dan mutan sangat berbeda. Hal ini disebabkan karena saat proses pembentukannya mendapat pengaruh genetik dari induknya dan lingkungan tempat tinggalnya. Setiap pengaturannya gen di dalam kromosom dapat mengkode suatu enzim. Enzim merupakan suatu katalisator yang membantu dalam proses metabolisme yang ada di dalam tubuh setiap makhluk hidup sehingga dapat dikatakan bahwa gen
mengontrol metabolisme setiap makhluk hidup (Starr. 2006: 96). Hal ini diketahui setelah Beadle dan Tatum meneliti untuk mencari mutan cendawan roti Neuspora crassa. Mereka menemukan mutan yang mempunyai kebutuhan nutrisi yang berbeda dengan cendawan tipe-liarnya. Untuk menemukan cacat metabolik auksotrof (hidup dengan makan yang khusus), Beadle dan Tatum mengambil sampel mutan yang tumbuh pada medium lengkap, kemudian dimasukkan ke dalam beberapa tabung yang berbeda. Setiap tabung terdiri dari medium minimal yang ditambah dengan nutrien tambahan. Nutrien tambahan tertentu yang menyebabkan mutan tumbuh berarti menunjukkan cacat metabolik. Mereka menyimpulkan bahwa masing-masing mutan kekurangan enzim
yang berbeda-beda. Dengan asumsi bahwa setiap mutan mempunyai cacat pada satu gen tunggal, mereka merumuskan hipotesis satu gen-satu enzim (one gene-one enzyme) (Campbell. 2002: 316--317).Setelah para ahli dan peneliti mempelajari lebih lanjut tentang protein, mereka membuat revisi kecil mengenai hipotesis satu gen-satu enzim. Tidak semua protein adalah enzim. Sebagai contoh, hemoglobin, protein transpor oksigen dalam sel darah merah vertebrata, terbentuk dari dua jenis polipeptida, yang berarti protein ini dikode oleh dua gen. Oleh karenanya, kita bisa menyatakan kembali ide Beadle dan Tatum sebagai hipotesis satu gen-satu polipeptida (one gene-one polypeptide) (Campbell. 2002: 317).
Setiap proses metabolisme, makhluk hidup mempunyai tahapan-tahapan dalam pembentukannya yang dikenal dengan istilah “central dogma”. “Central dogma” yaitu sebuah gen dalam rantai DNA ditranskripsi menjadi RNA, yang kemudian ditranslasi menjadi polipeptida, hingga kemudian diproses menjadi protein (Fairbanks & Andersen. 1999: 97).
Enzim dapat diisolasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pengisolasian enzim-enzim tersebut dapat dipisahkan melalui proses kromatografi. Kromatografi merupakan metode untuk memisahkan atau mengidentifikasi suatu komponen kimia dari suatu campuran. Cara tersebut digunakan oleh ilmuwan untuk mengidentifikasi suatu protein tunggal dari suatu komponen sel atau jaringan suatu makhluk hidup. Cara pemisahannya menggunakan prinsip interaksi molekul yang berbeda melalui medium stasioner (fase diam) di bawah pengaruh fase gerak. Cara pemisahan tersebut berdasarkan kecepatan migrasi tiap-tiap komponennya melalui medium stasioner (fase diam) di bawah pengaruh fase gerak (mobile). Aliran (gerakan) fase gerak tersebut menyebabkan perbedaan migrasi campuran, sehingga campuran dapat terpisahkan (Pai & Apandi 1999: 210--211).
Berdasarkan tingkat persaingannya dengan fase stasioner (diam), kromatografi terbagi atas beberapa bagian. Proses kromatografi tersebut antara lain kromatografi adsorbsi (adsorption chromatography), kromatografi pemisahan (partition chromatography), kromatografi pertukaran ion (ion exchange chomatography), dan kromatografi penyerapan (permeation chromatography) (Basset 1998: 225). Kromatografi adsorbsi (adsorption chromatography) merupakan proses pengidentifikasian dengan cara membuat suatu kompetisi antara fase diam padat dengan fase gerak cair, seperti kromatografi kertas (Paper Chromatography / PC) dan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography / TLC) merupakan contoh kromatografi adsorbs (Basset 1998: 225). Kedua, kromatografi pemisahan (partition chromatography) yaitu dengan membuat kompetisi antara fase diam cair dengan fase gerak cair, seperti pada sistem HPLC (High Performance Liquid Chromatography). HPLC banyak digunakan dalam analisis kimia, karena memiliki kemampuan untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan menghitung kuantitas komponen pada berbagai sampel yang dapat dilarutkan pada zat cair. Ketiga, kromotografi pertukaran ion (ion exchange chomatography) merupakan merupakan kompetisi antara fase resin penukar ion dengan fase gerak cair yang dikenal dengan IEC system dan keempat, kromatografi penyerapan (permeation chromatography) merupakan Merupakan kompetisi antara matriks polimer dengan fase gerak cair yang dikenal dengan GPC system.
Penggunaan kromatografi kertas khususnya, merupakan alternatif dari pemakaian metode lainnya. Hal ini disebabkan secara prosedur penggunannya relative mudah dan harganya lebih murah. Hal tersebut dikarenakan kertas terbuat dari serat selulosa, dan selulosa merupakan polimer dari gula sederhana, glukosa.
Titik kunci tentang selulosa adalah bahwa rantai polimer memiliki gugus-
OH mencuat di sekeliling mereka. Sejauh ini, menyajikan jenis yang
sama permukaan sebagai silika gel atau alumina pada kromatografi
lapisan tipis .
Prinsip kerja yang harus dilakukan adalah mengetahui zat yang akan
dipisahkan, kemudian, kertas saring yang digunakan adalah kertas saring
Whatman no.1 dan hasil dari perlakuan tersebut dapat diketahui dengan
beberapa titik hasil adsorbsi dengan warna yang berbeda yang
menunjukkan warna perbedaan antara asam amino (Voet & Judith Voel
1990: 85; Basset 1998: 225-226).
Beberapa senyawa hasil percobaan tidak terurai menjadi beberapa warna, melainkan tinggal lebih dekat dengan garis dasar. Jarak yang ditempuh relatif terhadap pelarut adalah konstan untuk senyawa tertentu sepanjang anda menjaga segala sesuatu yang lain konstan - jenis kertas dan komposisi yang tepat dari pelarut, misalnya jarak yang ditempuh relatif terhadap pelarut disebut nilai R f. Untuk setiap senyawa ini dapat bekerja dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Misalnya, jika salah satu komponen dari campuran bepergian 9,6 cm
dari garis dasar sedangkan pelarut telah berkelana 12,0 cm, maka nilai R f
untuk komponen tersebut adalah:
Dalam contoh dapat dilihat dengan berbagai pena, tidak diperlukan
untuk mengukur nilai Rf karena membuat perbandingan langsung hanya
dengan melihat kromatogram.
Kita membuat asumsi bahwa jika kita memiliki dua bercak pada
kromatogram akhir yang merupakan warna yang sama dan mampu
menempuh jarak yang sama kertas, mereka kemungkinan besar senyawa
yang sama. Hal ini tidak selalu benar tentu saja - kita bisa memiliki dua
senyawa berwarna sama yang sangat mirip dengan nilai Rf (Clark, Jim.
2007).
Teknik pemisahan yang dilakukan dalam melakukan percobaan tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan dengan menggunakan pigmen mata Drosophila melanogaster. Pigmen mata Drosophila melanogaster terdiri dari tujuh pigmen. Pigmen-pigmen tersebut adalah sebagai berikut:
1. drosopterin (jingga)
2. isoxantopterin (ungu-biru)
3. xantopterin( hijau-biru)
4. sepiapterin( kuning)
5. 2-amino-4-hidroksipteridin (biru)
6. biopterin( biru)
7. isosepiapterin( kuning)
Perbedaan pigemen-pigmen tersebut dapat diketahui berdasarkan perbedaan warnanya. Pigmen-pigmen tersebut diurutkan berdasarkan yang paling berat naiknya (Anderson 2000: 1).
Ketujuh pigmen tersebut sebenarnya diatur oleh dua pigmen utama yaitu ommochrome dan pteridin. Pigmen mata ommochrome memberikan warna coklat sedangkan pigmen mata pteridin memberika warna merah cerah. Pigmen mata cerah pteridin disintesis dari prekusor GTP, sedangkan ommochrome disintesis dari tryptophan. Pteridin merupakan salah satu campuran yang dapat dipisahkan berdasarkan prinsip kromatografi dan dapat diidentifikasi di bawah sinar ultraviolet (UV) (Rong & Golic. 1998: 1551).
Penelitian Morgant terhadap mutan-mutan Drosophila melanogaster menghasilkan kesimpulan bahwa mutasi-mutasi terjadi pada kromosom yang terpaut oleh kromosom seks. Eyemissing pada Drosophila melanogaster, mata putih pada Drosophila melanogaster, dan mutasi-mutasi lainnya pada mata ternyata terpaut oleh kromosom X. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mata Drosophila melanogaster betina normal lebih cerah daripada jantan, karena individu betina memiliki dua kromosom X sedangkan individu jantan hanya memiliki satu kromosom X (Russell 1994: 54).
Jika kita pelajari lebih dalam lagi, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik enzim-enzim yang menjadi komponennya. Enzim merupakan sekumpulan dari asam polipeptida yang menjadi komponen utama dalam susunan protein. Kerja enzim sangat dipengaruhi oleh kerja substrat sebagai wadah tempat enzim tinggal. Dengan enzim terdapat dua mekanisme bentuk kerja enzim, yaitu enzim akan membantu substrat untuk membentuk produk atau sebaliknya enzim akan membantu menguraikan produk hingga menjadi poroduk-produk lebih kecil, seperti pada pemecahan protein menjadi asam amino (Starr. 2006: 97).
Karakteristik enzim sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, berupa suhu, pH (tingkat keasaman) dan kadar garam. Suhu merupakan ukuran untuk pergerakan molekul. Enzim sama halnya dengan manusia, enzim tidak akan kuat pada suhu 44oC (112oF), jika suhu enzim melebihi suhu tersebut, maka enzim akan tidak bekerja secara maksimal. Tingkat keasaman yang ideal bagi enzim adalah 6 --8 pH, sebagai contoh enzim tripsin yang aktif di dalam usus halus yang mampu bertahan pada pH 8 (Starr. 2006: 98).
Setiap kromatografi yang menggunakan fase gerak cair dan fase diam, setiap substansi memiliki karakteristik nilai Rf (Voet & Judith Voel 1990: 86). Tingkat daya kapilaritas (daya gerak ke atas) dari kertas tersebut dapat dihitung dengan perbandingan sebagai berikut:
Rf = jarak (cm) dari titik garis awal ke pusat zona
jarak (cm) dari titik garis awal ke garis depan pelarut
Rf mengukur kecepatan bergeraknya zona relatif terhadap garis depan pengembang. Nilai Rf menunjukkan identitas-identitas asam amino dan intensitas zona itu dapat digunakan sebgai ukuran konsentrasi (Basset 1998: 226).

III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. ALAT
Alat yang digunakan dalam praktikum pemisahan biokimiawi
pigmen mata Drosophila melanogaster dengan kromatografi kertas dan
kromatografi lapis tipis adalah pengaduk kaca, botol selai, kertas karbon,
kertas timah, sumber UV, kaca mata pelindung UV, gunting, pensil dan
penggaris.

B. BAHAN
Bahan yang digunakan dalam praktikum praktikum pemisahan
biokimiawi pigmen mata Drosophila melanogaster dengan
kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis adalah Drosophila
melanogaster mutan-mutannya, pelarut berupa campuran 28% ammonium
hidroksida (NH4 OH) dan n-propil alkohol (1:1)

C. CARA KERJA
1. Kertas saring dan kertas lapis tipis dengan ukuran tertentu diberi
garis dengan jarak 2--2,5 cm dari dasar kertas dan diberi tanda titik
dengan interval 2 cm dengan pensil 2B. Titik sampel diberi tanda
dengan huruf atau angka, sehingga tidak tertukar.
2. Mata dipisahkan dari kepala Drosophila melanogaster dengan
menggunakan jarum sonde dan tekan/gerus kepala pada titik
pertamadengan mengunakan ujung pengaduk kaca yang tumpul.
Setelah digunakan untuk menggerus, cuci ujung pengaduk dalam
larutan pencuci.
3. Ulangi langkah 2 dengan menggunakan lalat mutan yang berbeda
(ingat! Gunakan lalat dengan jenis kelamin yang sama).
4. Ujung kertas saring disambung agar membentuk silinder dengan
menggunakan stapler. Jaga agar bagian atas kertas tempat titik
kepala yang telah digerus tidak saling tumpang tindih.
5. Kertas saring dan kertas lapis tipis dimasukkan pada botol selai
berisi pelarut dengan menggunakan sampel berada dibagian
bawah. Titik sampel jangan sampai tersentuh/terendam dalam
pelarut, dan jaga agar kertas tidak menyentuh pinggiran botol.
6. Botol disimpan dalam tempat gelap selama 90 menit (pteridin peka
terhadap cahaya). Setelah itu kertas diangkat dan dikeringkan
selama 5 menit dalam ruang asam.
7. Kromatogram diperiksa di bawah sinar UV, ukur jarak pergerakkan
sampel serta jarak pergerakkan larutan, dan hitung nilai Rf.

IV. HASIL PENGAMATAN
A. GAMBAR
PIGMEN MATA Drosophila melanogaster DENGAN METODE PC

Keterangan:
1. Wild type normal jantan
Jingga : 0,8 cm
Kuning : 1,5 cm
Hijau-biru : 5 cm
2. Wild type normal betina
Jingga : 0,8 cm
Kuning : 1,5 cm
Hijau-biru : 5 cm
3. Mutan white(w) betina
4. Mutan eye missing (eym) betina
PIGMEN MATA Drosophila melanogaster DENGAN METODE TLC
Keterangan:
1. Drosophila melanogaster normal jantan

Jingga = 4,7 cm
Hijau = 5,3 cm

2. Drosophila melanogaster normal jantan

Jingga = 4,8 cm
Hijau = 5,4 cm

3. Drosophila melanogaster sepia betina

Biru = 5,3 cm
Biru muda = 5,9 cm

4. Drosophila melanogaster eyemissing betina


B. TABEL
Tabel hasil pengamatan diletakkan di Lampiran
C. PERHITUNGAN Rf
Perhitungan diletakkan di lampiran

V. PEMBAHASAN
Praktikum pemisahan pigmen mata Drosophila melanogaster dengan
kromatografi dapat dilakukan dengan menggunakan Paper
Chromatography (PC) dan Thin Layer Chromatografi (TLC). Prinsip
kerja kerja yang dilakukan untuk pemisahan pigmen mata Drosophila
melanogaster dengan menggunakan PC dan TLC adalah sama. Metode
PC dengan menggunakan kertas saring Whatman yang berfungsi sebagai
alat filtrasi yang memanfaatkan daya kapilaritas kertas sehingga terlihat
penguraian warna-warna berdasarkan pigmen yang terkandung pada
senyawa protein pada mata Drosophila melanogaster. Tahap berikutnya
kertas yang telah diberi kepala Drosophila melanogaster yang selasai
digerus pada setiap titik yang ditentukan dimasukkan ke dalam toples
yang telah diisi ammonium hidroksida (NH4OH) dan n-propil alkohol
sebagai fase gerak cair agar pigmen terurai serta didiamkan selama 90
menit. Metode TLC menggunakan kertas silika yang mempunyai fungsi
sama seperti kertas Whatman sebagai media kapilaritas hanya saja
bedanya kertas silika lebih tinggi daya absorbsinya dibandingkan dengan
kertas dan secara prinsip kerjanya sama dengan kromatografi kertas
(Bassett dkk. 1991: 225--230).
Metode yang dipakai pada praktikum Paper Chromatography (PC)
dan Thin Layer Chromatografi (TLC) adalah untuk membandingkan
absorbsi pigmen warna secara details. Umumnya dengan menggunakan
TLC dan PC lebih jelas terlihat saat disinari dengan sinar UV (Ultraviolet).
Hal ini disebabkan fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis
seringkali memiliki substansi yang ditambahkan kedalamnya, supaya
menghasilkan pendaran flour ketika diberikan sinar ultraviolet (UV). Itu
berarti jika menyinarkannya dengan sinar UV, akan berpendar. Pendaran
ini ditutupi pada posisi dimana bercak pada kromatogram berada,
meskipun bercak-bercak itu tidak tampak berwarna jika dilihat dengan
mata. Itu berarti bahwa menyinarkan sinar UV pada lempengan, akan
timbul pendaran dari posisi yang berbeda dengan posisi bercak-bercak.
Bercak tampak sebagai bidang kecil yang gelap.
Sementara UV tetap disinarkan pada lempengan, dan tandai posisi-
posisi dari bercak-bercak dengan menggunakan pinsil dan melingkari
daerah bercak-bercak itu. Seketika anda mematikan sinar UV, bercak-
bercak tersebut tidak tampak kembali.
Metode TLC umumnya lebih banyak dipakai dibandingkan dengan
metode PC. Hal tersebut disebabkan TLC mempunyaio pori-pori kertas
yang lebih rapat sehingga warna yang terekspresikan terlihat lebih jelas
dibandingkan PC, kemudian proses pengadsorbsian pigmen mata
Drosophila melanogaster dengan menggunakan TLC membutuhkan waktu
yang lebih sedikit daripada PC karena kecepatan adsorbsinya yang lebih
tinggi. Namun, dikarenakan daya absorpsi serta kerapatan lebih tinggi
membuat harga dagang yang ditawarkan oleh TLC juga lebih mahal dari
PC, tetapi dari kedua metode tersebut sudah bisa menunjukkan pigmen
yang jelas (Townshend, Alan. 1995: 3978) .
Intensitas pigmen mata yang dihasilkan dari uji kromatografi tersebut
berbeda antara Drosophila melanogaster jantan dan betina. Pigmen
warna mata betina lebih cerah dibandingkan dengan jantannya. Hal
ini bisa terjadi karena pengaruh kromosom XX dan XY. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa kromosom X
pada betina sangat mempengaruhi pembentukan pigmen warna
mata (Birchler. 1994:1063).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dilihat bahwa mayoritas lalat
betina lebih besar jarak d# (jarak dari titik batas bawah atau pangkal
sampai titik tertinggi warna tersebut berhenti) dibandingkan dengan
jantan. Hal tersebut sesuai teori dikarenakan kromosom X pada betina
sangat mempengaruhi terbentuknya suatu pigmen sehingga secara
morfologi luarnya lalat Drosophila melanogaster betina terlihat lebih
mencolok dibandingkan dengan jantannya (Jones & Rickards 1991: 58).
Berikutnya didapat juga pada mata Drosophila melanogaster normal hanya terdapat pigmen jingga, kuning dan hijau-biru. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Drosophila melanogaster normal memiliki tujuh pigmen pteridin. Hal tersebut dapat disebabkan karena mutasi resesif dapat mempengaruhi pteridin dari heterozigot wild type (Gardner & Mertens 1975: 10) dan mutan yang diteliti yaitu white betina dan eyemissing betina tidak menunjukkan warna apapun. Jadi, secara keseluruhan hubungan pigmen mata terhadap gen diantaranya dapat mengidentifikasi jenis spesies makhluk hidup, dapat mengetahui makhluk tersebut mutan atau normal.

IV. KESIMPULAN
1. Praktikan mengetahui dan memahami teknik pemisahan pigmen mata Drosophila melanogaster dengan metode kromatografi kertas (PC) dan kromatografi lapis tipis (TLC).
2. Perbedaan teknik pemisahan pigmen mata Drosophila melanogaster dengan PC dan TLC dapat diketahui, yaitu hasil yang diperoleh dengan metode TLC lebih akurat karena TLC memiliki pori-pori yang lebih rapat sehingga lebih selektif dalam memisahkan warna sehingga daya kapilaritas TLC lebih tinggi dibanding PC.
3. Perbedaan kromatogram Drosophila melanogaster wild type dan mutan-mutannya berbeda, yaitu wild type memiliki pigmen jingga lebih banyak sehingga warna matanya lebih merah cerah dibandingkan dengan mutan-mutannya.

V. DAFTAR ACUAN
Anderson, Nadja. 2000. Analyzing the Products of DNA:Chromatography of Fruit Fly Eye Color.
Bassett, J, R.C. Denney, G.H. Jeffrey, & J. Mendham. 1994. Buku ajar vogel: Kimia analisis kuantitatif anorganik. Terj. dari Vogel’s textbook of quantitative inorganic analysis including elementary instrumental analysis, oleh Pudjaatmaka, H. & L. Setiono. EGC, Jakarta: xii + 1502 hlm.
Birchler, James A. 1994. Weakener of white (Wow), a Gene That Modifies
the Expression of the white Eye Color Locus and That Suppresses
Position Effect Variegation in Drosophila melanogaster. Cambridge:
1057--1070 hlm.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2142813/
Campbell, N.A., J.B. Reece, & L.G. Mitchell. 2002. Biologi. Edisi kelima- jilid-1. Terj. dari Biology oleh Lestari, R. Erlangga, Jakarta: xxi+438 hlm.
Clark, Jim. 2007. http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/paper.html, 1 Maret 2010, pk 21:56 WIB.
http://www.absoluteastronomy.com/topics/Central_dogma_of_molecular_biology, 25 februari 2010, pk 22:02 WIB.
http://www.musc.edu/BCMB/onlinepubs/methodologyjournal/TLC%20Page/marking%20TLC%20corners-dye2.jpg, 25 februari 2010, pk 22:16 WIB.
http://www.chem-is-try.org/?sect=belajar&ext=analisis, 2 Maret 2010, pk 15:24 WIB.
http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html, 2 Maret 2010, pk 15:35 WIB.
Jones, R. N. & G. K. Rickards. 1991. Practical genetics. Open University Press, Britain: 228 hlm.
Journal of chromatography vol.22A. 1983. Elsevier science publishing company inc. New York: xxi + A369.
Pai, Anna C., & Muchidin Apandi. 1999. Dasar-dasar genetika. Penerbit
Erlangga, Jakarta : x + 438 hlm.
Presson, Joelle & Jan Jenner. Gene expression controls development. Mc Grawhill, New York: xxiii + 709 hlm.
Rong, Y. S., Kent G. Golic. 1998. Dominant Defects in Drosophila Eye Pigmentation Resulting From a Euchromatin-Heterochromatin Fusion Gene.
Starr, C & R. Taggart. 2006. Biology: The unity and diversity of life, 11th ed . Thomson learning inc., Toronto: xxix + 916 hlm.
Townshend, Alan. Encyclopedia of analytical science, Jilid 7‎. 1995. Universitas Michigan : 6059 hlm.
Voet, Donald, Judith G. Voel., 1990. Biochemistry. John Willey & Sons Inc., New York : xvii + 1223 hlm.

0 PENYILANGAN DAN UJI STATISTIKA PENYILANGAN MONOHIBRID DAN DIHIBRID Drosophila melanogaster

Label:

I. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami hukum pewarisan sifat Mendel pada penyilangan monohibrid dan dihibrid.
2. Melakukan penyilangan monohibrid antara Drosophila melanogaster normal dan mutan.
3. Membuktikan kesesuaian hasil penyilangan monohibrid Drosophila melanogaster dengan uji “goodnes of fit “ (chi-square).

II. TEORI
Praktikum sebelumnya telah kita ketahui bahwa lalat Drosophila melanogaster memiliki ciri-ciri secara tampak luar (fenotip) hampir sama dengan induknya, tetapi secara genotip penyilangan lalat tersebut ada yang homozigot dan ada yang heterozigot. Penyilangan tersebut memiliki dua hukum Mendel yaitu hukum segregasi dan hukum asortasi. Penyilangan segregasi atau biasa dikenal monohibrid adalah penyilangan antara dua individu parental yang memiliki satu sifat beda (Klug. 1994:
52). Filial 1 ialah keturunan dari parental (induknya), sedangkan Filial 2 ialah keturunan dari filial 1 (anakan yang dihasilkan (Klug&Cummings 1994: 52). Hukum penyilangan kedua adalah asortasi atau dihibrid adalah penyilangan dua individu dengan dua sifat beda (Strickberger 1985: 113). Penyilangan dihibrid menghasilkan enam belas kombinasi dengan empat macam fenotip dan rasio fenotip yang dihasilkan adalah 9:3:3:1 (Suryo 1994: 94).
Percobaan penyilangan monohibrid dan dihibrid yang dilakukan oleh Mendel adalah menggunakan kacang ercis (pisum sativum). Pertama, untuk membuktikan penyilangan monohibrid Mendel menggunakan karakter satu sifat berupa biji bulat dengan biji keriput dalam percobaan nya. Mendel menyilangkan kedua jenis tanaman secara buatan (oleh Mendel sendiri) dengan cara mengambil serbuk sari dari bunga berbiji bulat ke bunga berbiji keriput dan sebaliknya sehingga menghasilkan anakan pertama yang disebut F1 karena yang dihasilkan oleh tanaman induk berlainan sifat. Mendel menanam semua biji bulat F1-nya yang berjumlah 253 tanaman. Mendel melanjutkan percobaan dengan cara bunga-bunga F1 dibiarkan melakukan penyerbukan sendiri secara wajar dan dari tanaman F1 tersebut, Mendel memperoleh generasi F2 sebanyak 7324 biji. Mendel memperoleh 5474 jenis biji bulat dan 1850 jenis biji keriput sehingga menghasilkan perbandingan 3 : 1 (Kimbal 1992: 221).
Data yang diperoleh dari penyilangan tersebut Mendel mengambil kesimpulan penyilangan monohibrid bahwa pada saat pembentukan gamet, gen-gen yang menenukan sifat akan memisah (segregasi). Prinsip tersebut disebut sebagai the law of segregation of allelic genes (Hukum pemisahan gen yang se-alel) atau dikenal hukum Mendel I (Suryo 1994: 91).Kedua, untuk membuktikan penyilangan dihibrid Mendel
menggunakan dua karakter sifat beda sehingga mengasilkan enam belas anakan F2 dengan empat macam fenotip dan rasio fenotip yang dihasilkan adalah 9:3:3:1 (Suryo 1994: 94). Mendel menyusun hukumnya yang kedua yang menyatakan bahwa gen-gen dari pasangan alel akan memisah secara bebas ketika berlangsung pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu pembentukan gamet-gamet. Hukum Mendel II disebut hukum
pengelompokan gen secara bebas (asortasi). Hukum tersebut menyatakan bahwa gen-gen mengelompok secara bebas dengan gen lain yang bukan alelnya pada pembentukan gamet. Kebenaran hukum tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan penyilangan dengan memperhatikan dua sifat beda atau dihibrid (Russell 1994: 101).Percobaan yang dilakukan oleh praktikan dalam praktikum penyilangan monohibirid dan dihibrid adalah menggunakan lalat Drosophila melanogaster. Drosophila melanogaster mengalami metamorfosis sempurna (Gambar 1), terdiri atas telur, larva, pupa dan
imago. Fase telur memerlukan waktu 0-21 jam. Fase larva terbagi lagi menjadi tiga fase yaitu instar I yang memerlukan waktu 24 jam untuk berkembang menjadi larva instar II, larva instar II yang membutuhkan waktu 54 jam untuk menjadi larva instar III serta larva instar III yang memerlukan waktu 96 jam untuk berubah menjadi pupa, setelah itu pupa akan tumbuh menjadi imago (Stine 1973:1). Alasan menggunakan Drosophila melanogaster dalam percobaan karena Drosophila melanogaster adalah insekta yang memiliki jumlah kromosom yang sedikit, yaitu 2n = 8. Drosophila melanogaster memiliki siklus hidup yang pendek yaitu sekitar 10-12 hari, dengan menghasilkan telur yang banyak tiap kali Drosophila melanogaster betina bertelur, sehingga mudah dirawat dan mempunyai banyak karakter mutan dan pada fase dewasa awal merupakan masa lalat Drosophila melanogaster melakukan perkawinan
(Jones & Rickards.1991: 48).
Hasil penyilangan fenotip F2 terkadang tidak selalu sama dengan hasil perhitungan hukum Mendel. Untuk mengujinya perlu dilakukan perhitungan dengan uji chi-square. Uji chi-square merupakan suatu metode statistik dengan penentu apakah penyelewengan hasil penyilangan tidak sesuai dengan hipotesis perhitungan atau tidak. Untuk menentukan derajat kebebasan X2 (degree of Freedom (df) adalah dengan mengurangi macam fenotip yang dihasilkan melalui penyilangan dengan 1 (df = n-I) (Klug & Cummings 1994: 67-68). Metode Chi-square yang digunakan dalam uji statistik dilakukan beberapa tahap yaitu :
1. Pembuatan hipotesis
Ho = Hasil penyilangan sesuai hukum Mendel
Ha = Hasil penyilangan hasil perhitungan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel
2. Taraf kepercayaan
Batas kepercayaan (level of significance) yang di berikan bagi seorang peneliti adalah 5% atau α = 0,05.
3. Kriteria pengujian
Apabila X2 perhitungan hasil penyilangan > X2 tabel, Ho ditolak .
Apabila X2 perhitungan hasil penyilangan < X2 tabel, Ho diterima
(Strickberger 1985: 107).

III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum penyilangan Drosophila melanogaster dan mutan-mutannya adalah botol etherizer, busa penutup, botol spesimen, cawan petri, kuas halus, lup dan pipet tetes.

B. BAHAN
Bahan yang digunakan dalam praktikum ialah larutan dietil eter, koloni Drosophila melanogaster normal beserta mutan-mutannya, tisu, medium pemeliharaan, dan kertas saring.

C. CARA KERJA
1. Pembuatan medium
a. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan medium pemeliharaan Drosophila melanogaster ialah botol gelas medium, busa penutup, kertas tisu kasar, air suling (akuades), agar-agar, gula aren, pisang ambon, asam sorbat, methyl paraben, ragi (yeast), dan alkohol 95%.

b. Cara membuat medium
1) Botol gelas, busa penutup, dan kertas tisu disterilisasi terlebih dahulu dengan cara dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam dengan suhu 60 -- 80 C.
2) Asam sorbat sebanyak 2,5 g yang dilarutkan ke dalam 120 cc alkohol 95% dan methyl paraben sebanyak 2,5 g dilarutkan ke dalam 120 cc alkohol 95% untuk pembuatan larutan anti jamur.
3) Pisang ambon lumut dikupas, ditimbang, dan dilumatkan dengan menggunakan blender tanpa menggunakan air.
4) Gula aren dan agar-agar dicampur bersama-sama ke dalam akuabides dan dididihkan di atas pemanas.
5) Pisang yang telah diblender dimasukkan ke dalam campuran gula aren dan agar-agar yang sudah mendidih.
6) Yeast, asam sorbat, dan methyl paraben sebanyak 5 cc dimasukkan ke dalam medium.
7) Medium dipanaskan sambil diaduk-aduk hingga mendidih.
8) Medium dimasukkan ke dalam botol yang berjumlah sekitar 30 botol.
9) Medium yang belum digunakan disimpan di dalam lemari es ( suhu 20 C).

2. Pemeliharaan Drosophila melanogaster
a. Lalat dimasukan ke dalam botol eterizer hingga pingsan.
b. Lalat dipilih sesuai yang kita inginkan dalam keadaan pingsan.
c. Lalat dipindahkan ke medium baru sebelum siuman.
d. Lalat dipindahkan dan diperhatikan secara hati-hati pada saat dimasukkan ke botol medium baru agar tidak tercebur ke dalam medium.
e. Koloni lalat disimpan di dalam lemari berventilasi dan di ruang yang bersuhu 25--30 C.
f. Koloni lalat diperhatikan siklus hidupnya sampai tumbuh menjadi lalat dewasa.

3. Pembiusan
a. Drosophila melanogaster baik normal maupun mutan-mutannya dipindahkan ke dalam botol yang kosong beralas busa dan diketuk dengan hati-hati agar lalat dapat jatuh ke dasar botol.
b. Drosophila melanogaster baik normal maupun mutan-mutannya dipindahkan dari botolnya ke botol eterizer dengan cara kedua mulut botol didekatkan dan dibuka tutup botol yang berupa gabus dan segera ditutup kembali.
c. Proses penutupan harus dilakukan dengan cepat dan tepat agar tidak ada Drosophila melanogaster yang keluar.
d. Zat kimia eter diberikan kepada Drosophila melanogaster dengan cara diteteskan dengan menggunakan pipet sebanyak 2-3 tetes pada penutup botol yang berupa gabus.
e. Zat eter juga dapat diberikan dengan menggunakan tisu yang telah diberi eter dan dimasukkan ke botol eterizer.
f. Drosophila melanogaster dipindahkan ke cawan petri setelah pingsan untuk diamati, dipilah, dan dihitung.
g. Drosophila melanogaster yang terbangun pada saat diamati di cawan petri dibius kembali dengan tisu yang telah diberi eter.
h. Drosophila melanogaster yang terlepas, harus segera dibunuh terutama lalat mutannya agar tidak memutasi yang lainnya.

4. Pengisolasian Virgin
a. Semua imago dari botol pemeliharaan yang sudah banyak mengandung pupa dikeluarkan hingga tidak ada satu pun lalat yang tertinggal.
b. Seluruh lalat yang baru keluar dari dari pupa dimasukkan ke dalam eterizer untuk dibius.
c. Lalat dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian dipilih betina yang masih virgin.

5. Penyilangan
a. Dengan perbandingan 1:3, 3 lalat virgin yang telah ditentukan dimasukkan ke dalam medium baru.
b. Drosophila melanogaster betina virgin normal atau mutan black disilangkan dengan Drosophila melanogaster jantan dari strain yang berbeda dalam jumlah yang hampir sama dengan lalat betina yang dimasukkan.
c. Botol pemeliharaan diberi tanda agar tidak tertukar setelah proses penyilangan.
d. Tanggal penyilangan dan notasi induk jantan dan betina dituliskan pada tanda.
e. Telur dan larva akan terlihat dalam waktu 2 sampai 4 hari. Bila tidak terlihat telur dan larva pada hari kedua sampai keempat, medium telah tekontaminasi oleh jamur.
f. Penyilangan yang berhasil ditandai dengan pertanaman lalat yang cepat dan terdapat banyak larva dan pupa.
g. Semua parental penyilang harus dikeluarkan agar tidak mengacaukan perhitungan keturunannya.
h. Kurang lebih sebanyak 200 keturunan dalam satu minggu akan dihasilkan oleh penyilangan yang baik.

6. Perhitungan hasil penyilangan
a. Lalat dibius dengan eter di dalam eterizer sampai pingsan.
b. Lalat dipindahkan ke dalam cawan petri.
c. Drosophila melanogaster dipisahkan menurut fenotip dan seksnya dengan menggunakan kuas kecil.
d. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lup
e. Jumlah Drosophila melanogaster dihitung sesuai dengan fenotip dan
seksnya.

IV. HASIL PENGAMATAN
Tabel siklus hidup Drosophila melanogaster di lampiran.

V. PEMBAHASAN
Perkembangan lalat Drosophila melanogaster mempunyai beberapa fase, yaitu telur, larva (instar I, instar II dan instar III), pupa (kepompong) dan dewasa sehingga fase ini disebut metamorfosis, yaitu perubahan dari larva menjadi lalat dewasa, terjadi di dalam kepompong pupa dan lalat akhirnya muncul (Campbell, dkk. 2002: 424). Jenis metamorfosis pada lalat Drosophila melanogaster termasuk metamorfosis sempurna karena melewati fase pupa (Hall 2002: 102--103). Metamorfosis Hari ke-0 –1 lalat seharusnya sudah mengeluarkan telur-telurnya dengan terlihat adanya bintik-bintik bening pada dinding medium. Hal ini bertujuan agar telur tidak menyentuh medium makanan karena dapat menyebabkan telur mati dan pada uji coba ini telur mulai terlihat pada hari ke-2. Hal tersebut sedikit berbeda dengan literatur yang menyatakan bahwa mulai pada hari ke-2 larva Drosophila melanogaster sudah menetas menjadi instar I (Geiger 2002: 2).
Tahap larva instar I mulai terlihat pada hari ke-4. Hal tersebut berbeda dengan apa yang dipaparkan di dalam literatur yang menyatakan bahwa pada hari ke-3 sampai dengan hari ke-4 sudah mulai terbentuk instar II (Geiger 2002: 2). Hari ke-7, tahap pupa sudah terbentuk dengan ciri-ciri larva sudah tidak melakukan aktivitas aktif makan dan melekat pada bagian yang kering, seperti dinding botol medium dan tisu kering bahkan beberapa melekat pada sumbatan busa. Hal tersebut dilakukan oleh larva agar pada fase pupa tidak membusuk dan perkembangannya maksimal. Literatur menunjukkan tahap pupa mulai terbentuk pada hari ke-8 dan tahap perkembangan membentuk pupa terjadi lebih cepat sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan teori (Geiger 2002: 2).
Hari ke-10 lalat F1 sudah terbentuk dan keluar dari pupa. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa lalat F1 akan muncul pada hari ke-11 sampai dengan hari ke-12 (Geiger 2002: 2). Pengaruh penyimpangan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan proses siklus lalat Drosophila melanogaster menjadi lebih cepat dari waktu normal, sedangkan pada temperatur yang lebih rendah dapat menyebabkan siklus lalat tersebut menjadi lebih lamban (Jones & Rickards. 1991: 50).
Faktor selain temperatur yang mempengaruhinya adalah tingkat keasaman pada medium makanan. Hal tersebut terjadi karena adanya ragi pada medium tersebut yang awalnya sebagai pemecah gula untuk memudahkan larva makan, walaupun di dalam medium tersebut sudah diberikan larutan methyl paraben jamur tetap tumbuh sehingga salah satu faktor penyebab kegagalan percobaan kelompok kami. Tetapi, pada penyilangan mutan black waktu yang dibutuhkan untuk membentuk F1 lebih cepat dibandingkan dengan yang normal, seperti tahap telur terlihat hari ke-2, larva hari ke-4, pupa hari ke-6 dan lalat dewasa muncul F1 hari ke-10. Perbedaan dapat dilihat pada jumlah F1 yang dihasilkan, mutan black menghasilkan lebih banyak F1 dibandingan dengan lalat wild type.
Proses kerja dalam praktikum ini, diantaranya pertama praktikan harus melakukan uji penyilangan untuk mendapatkan parental dengan cara koloni lalat normal (wild type) ditransfer ke dalam botol etherizer untuk melakukan pembiusan, kemudian setelah pingsan lalat tersebut dibius dengan menggunakan larutan dietil eter sebanyak 2--3 tetes melaui lubang yang ada yang telah disumabat kapas/tisu. Setelah pingsan lalat tersebut diletakan di atas cawan petri untuk pengidentifikasian dengan perbandingan 1:3 antara lalat jantan dan betina, kemudian koloni lalat dipindahkan ke dalam medium baru dan botol diberi tanggal dan notasi untuk penanda awal mula uji penyilangan dan perilaku ini juga dilakukan pengisolasian lalat mutan.
Kedua, pengisolasian betina virgin dengan cara koloni lalat hasil penyilangan wild type mahupun mutan ditransfer ke dalam botol etherizer yang berbeda untuk melakukan penyilangan dihibrid. Lalat dibius dan setelah lalat pingsan diletakan di atas cawan petri untuk diidentifikasi dengan lup memisahkan betina virgin, kemudian dimasukan ke dalam botol re-etherizer¬ dan dipindahkan ke botol medium baru.
Ketiga, penyilangan secara dihibrid dengan cara koloni lalat jantan disilangkan dengan lalat betina virgin yang ada di dalam botol medium dengan cara ditransfer sehingga kedua jenis lalat tersebut siap untuk melakukan perkawinan dan botol medium tersebut diberi tanggal dan notasi dengan catatan 3 betina wild type disilangkan dengan 1 jantan mutan black dan 3 betina mutan black dengan 1 wild type. Hal ini bertujuan agar hasil penyilangan mendapatkan hasil yang maksimal. Hal-hal yang harus diperhatikan selama penyilangan adalah suhu penyimpanan berkisar 25--30o C, ketika memasukkan lalat yang telah dibius, sebaiknya diletakan di dalam kertas saring dan sebelum 8 jam, lalat betina yang baru keluar dari pupa, harus segera diisolasi.
Keempat, melakukan perhitungan hasil penyilangan dengan cara koloni lalat hasil penyilangan ditransfer ke botol etherizer dan dibius menggunakan eter, kemudian lalat yang telah pingsan tersebut diambil menggunakan kuas dan diletakan di atas cawan petri dan dihitung dengan bantuan lup lebih jelas dan hasil perhitungan tadi ditulis di dalam tabel untuk melakukan perhitungan chi-square untuk membuktikan hukum Mendel (Jones & Rickards. 1991: 51).
Alat yang digunakan pada praktikum ini diantaranya botol etherizer berfungsi untuk tempat pembiusan lalat Drosophila melanogaster agar memudahkan pemindahan ke dalam botol pemeliharaan penyilangan monohibrid, cawan petri yang berfungsi sebagai tempat untuk mengamati jenis kelamin jantan atau betina karena dalam penyilangan tersebut membutuhkan dua botol spesimen yaitu untuk lalat normal dan jantan, kuas halus sebagai alat pemindah lalat ke dalam medium, lup digunakan agar pengamatan lebih jelas membedakan morfologi lalat tersebut.
Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan dietil eter untuk pembius lalat-lalat agar mudah dipindahkan , tisu sebagai dan kertas saring sebagai tempat peletakan lalat parental agar tidak melekat di atas medium makanan. Hal ini disebabkan karena jika lalat sampai terjatuh di atas medium, maka sayap atau kaki dari lalat tersebut akan sulit lepas sehingga menyebabkan lalat tersebut mati dan menyulitkan dalam percobaan. Medium pemeliharaan sebagai sumber makanan bagi larva-larva dari F1 jika sudah menetas dan parentalnya (Jones & Rickards. 1991: 50).
Bahan-bahan dalam pembuatan medium diantaranya air suling (akuades) berfungsi sebagai pelarut, agar-agar sebagai pengeras medium, gula aren sebagai sumber gula bagi lalat Drosophila melanogaster , pisang ambon sebagai bahan makanan lalat Drosophila melanogaster, asam sorbat dan methyl paraben dilarutkan dalam alkohol 95% bertujuan untuk mencegah kontaminasi dari luar dan ragi (yeast) berfungsi untuk mengubah gula kompleks menjadi gula yang sederhana. Methyl paraben memiliki nama lain, yaitu methyl-p-hydroxybenzoate (Oxford University 2004: 1). Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa methyl-p-hydroxybenzoate berfungsi untuk menghambat pertumbuhan jamur, bakteri, dan kutu (Jones & Rickards. 1991: 49).
Berdasarkan pengamatan kelompok VB, percobaan penyilangan monohibrid yang sudah dilakukan menghasilkan Drosophila melanogaster wild-type berjumlah ++ (51--100) ekor, tetapi pada hari terakhir jumlah F1 sebanyak + (1--50) ekor, sedangkan Drosophila melanogaster mutan black berjumlah +++ (101--150) ekor. Hal tersebut berbeda dengan literatur yang praktikan peroleh yang menyebutkan penyilangan monohibrid menghasilkan F1 yang memiliki fenotip normal (Jones & Rickards. 1991: 55).
Langkah berikutnya untuk membuktikan kesesuaian hasil yang diperoleh dengan hukum Mendel dengan melakukan uji chi-square tidak bisa dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah data yang ada hanya berupa kisaran dan tidak valid sehingga tidak dapat membuktikan kesesuaian hukum Mendel karena syarat perhitungan chi-square adalah harus memiliki data hasil observasi penyilangan (Suryo 1994: 161).

VI. KESIMPULAN
1. Hukum pewarisan sifat hukum segregasi (monohibrid) dan hukum
asortasi (dihibrid) mempunyai beberapa perbedaan.
2. Penyilangan secara monohibrid pada lalat Drosophila melanogaster
dilakukan dengan cara menyilangkan sifat yang berbeda satu sama
lain.
3. Hasil penyilangan monohibrid lalat Drosophila melanogaster dapat
dibuktikan dengan uji chi-square.

VI. DAFTAR ACUAN

Ahluwalia, K.B. 2009. Genetics, 2nd ed. New Age International Publishers.
New Delhi: ix + 451 hlm.
Campbell dkk. 2002. Biologi,5th ed. Terj dari Biology, 5th ed. Lestari, Rahayu. Erlangga, Jakarta: xxii + 438 hlm.
Geiger, Pete. 2002. An introduction to Drosophila melanogaster. 3 hlm. http://biology.arizona.edu/sciconn/lessons2/Geiger/intro.htm, 16 Maret 2010, pk 17:47.
Goodwin, Tony. 2005. Our model: The fruitfly Drosophila melanogaster. 4 hlm. http://www.anatomy.unimelb.edu.au/researchlabs/whitington/index.html, 10 Maret 2010, pk. 17:19.
Hall, Jeffrey C. 2002. Advances in genetics, vol 47. Elsevier Science Imprint, California: vii + 151 hlm.
Jones, R. & G. K. Rickards. 1991. Practical genetics. John Willey & Sons, New York: 228 hlm.
Kimball, J.W. 1992. Biologi. Ed. ke-5. Erlangga, Jakarta: xiii + 333 hlm.
Klug, W.S & M.R. Cummings. 1994. Concepts of genetics. 4th ed. Prentice hall, New Jersey: xvi + 729 hlm.
Russel, Peter J. 1994. Fundamental of genetics. HarperCollins College Publisher, New York: xi + 528 hlm.
Srickberger, M. W.1985. Genetics. 3rd. ed. MacMillan Publishing
Company, New York: xxi + 446 hlm.
Suryo, H.1994. Genetika manusia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta: xiv + 446 hlm.
Yatim, Wildan. 1991. Genetika. Tarsito, Bandung: vii + 397 hlm.

3 PENGAMATAN Drosophila melanogaster NORMAL DAN MUTAN-MUTANNYA

Label:

I. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami pengertian mutasi.
2. Mengetahui perbedaan morfologi antara Drosophila melanogaster jantan dan Drosophila melanogaster betina.
3. Mengetahui perbedaan antara Drosophila melanogaster normal dengan mutan-mutannya.

II. TEORI
Mutasi merupakan perubahan turun-temurun pada susunan basa nukloetida dari genom DNA (deoxyribonucleic acid) atau pada urutan angka dari gen atau kromosom pada sebuah sel, dapat terjadi secara spontan atau dengan melalui media lain (Rittner & Timothy. 2004: 254). Mutasi disebabkan oleh agen-agen tertentu. Satu agen yang menyebabkan satu permanen turun temurun perubahan ke dalam DNA (deoxyribonucleic acid) dari satu organisme disebut mutagen (Rittner & Timothy. 2004: 253). Agen-agen tersebut dapat berupa bahan kimiawi atau fisik yang berinteraksi dengan DNA sehingga menyebabkan mutasi (Campbell dkk. 2002: 335). Organisme yang mengalami perubahan atau mutasi disebut mutan, sedangkan mutagenesis merupakan istilah yang dipakai untuk menyebutkan proses yang menyebabkan mutasi atau penciptaan suatu mutasi (Pai. 1992: 277; Campbell dkk. 2002: 402).
Berdasarkan sel-sel yang mengalami mutasi, terdapat beberapa macam jenis –jenis mutasi. Pertama, mutasi berdasarkan tingkat terjadinya yaitu mutasi kromosom dan mutasi gen. Mutasi kromosom adalah perubahan pada pengaturan susunan kromosom. Mutasi gen adalah mutasi pada rangkaian gen dan dapat melibatkan perubahan salah satu dari jumlah rangkaian DNA, termasuk substitusi pasangan basa mahupun penambahan atau pengurangan satu atau lebih pasangan basa DNA (Russell 1994: 378).
Kedua, mutasi berdasarkan sel yang mengalaminya yaitu mutasi somatik dan germinal. Mutasi somatik terjadi apabila sel mutan memberikan peningkatan hanya pada sel somatik saja (pada organisme multiseluler), sehingga akan tercipta wilayah mutan pada bagian tubuh mutan tersebut, tetapi karakteristik mutannya tidak diturunkan kepada generasi berikutnya. Mutasi germinal adalah mutasi yang terjadi pada germinal organisme yang bereproduksi secara seksual, dan dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui gamet sehingga akan menghasilkan suatu individu yang mengalami mutasi baik pada sel somatik mahupun pada sel germinal (Russell. 1994: 378).
Ketiga, mutasi berdasarkan peranan mutagen yaitu mutasi induksi dan spontan. Mutasi induksi merupakan mutasi yang diakibatkan oleh “media” yang saling barkaitan disebabkan oleh mutagen-mutagen antara lain dengan bahan-bahan kimia yang bergabung dengan gugus basa. Misalnya, benzpyrene, salah satu komponen kimia rokok, membuat ikatan yang cukup besar dan kompleks dengan guanin, sehingga menyulitkan dalam pemasangan basa lainnya. Saat DNA polymerase mendapatkannya sebagai guanin yang termodifikasi, maka basa tersebut tidak akan berubah menjadi sitosin, sehingga terjadi mutasi. Selain dengan bahan kimia, radiasi juga menjadi penyebab mutasi induksi. Radiasi merusak meteri genetik dalam dua cara, yaitu radiasi ion (ionizing radiation) yang menghasilkan bahan kimia yang sangat reaktif, disebut sebagai radikal bebas yang menyebabkan suatu gugus basa tidak dapat dikenali (oleh DNA polymerase), sehingga menyebabkan terjadinya abnormalitas kromosom. Kedua, radiasi UV (ultraviolet radiation) dari matahari akan diserap oleh basa timin dalam DNA yang menyebabkan timin dapat membentuk ikatan kovalen dengan nukleotida yang berdekatan dengannya. Hal tersebut juga menyebabkan kerusakan pada replikasi DNA (David Sadava dkk. 2004: 253--254). Mutasi spontan merupakan mutasi yang terjadi diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan DNA selama replikasi, perbaikan, atau rekombinasi DNA dapat mengarah pada terjadinya substitusi, insersi, atau delesi pasangan basa, sama seperti terjadinya mutasi yang memepengaruhi rentangan DNA yang panjang (Campbell dkk. 2002: 335).
Lalat buah (Drosophila melanogaster) dan arthropoda yang lain mempunyai konstruksi modular, suatu seri segmen yang teratur. Segmen tersebut menyusun tiga bagian tubuh yang teratur: kepala, toraks (tubuh bagian tengah, tempat sayap dan kaki berawal), dan abdomen, perut bagian bawah, seperti hewan simetris bilateral lain, Drosophila mempunyai poros anterior-posterior (kepala-ekor) dan poros dorsal-ventral (punggung-perut) (Campbell dkk. 2002: 423--424).
Alasan menggunakan Drosophila melanogaster dalam percobaan adalah Drosophila melanogaster merupakan insekta yang memiliki jumlah kromosom yang sedikit, yaitu 2n = 8. Drosophila melanogaster memiliki siklus hidup yang pendek yaitu sekitar 10-12 hari, dengan menghasilkan telur yang banyak tiap kali Drosophila melanogaster betina bertelur, sehingga mudah dirawat dan mempunyai banyak karakter mutan. Drosophila melanogaster memiliki tiga pasang kromosom penting, yang mempunyai sistem kromosom XX / XY untuk penetapan kromosom seks, mempunyai kromosom raksasa pada kelenjar ludah dari larvanya, dan pada Drosophila melanogaster jantan tidak ditemukan crossing over atau pindah silang saat meiosis terjadi (Jones & Rickards. 1991: 48).
Kromosom kelamin dibedakan atas kromosom X dan kromosom Y. Drosophila melanogaster betina memiliki kromosom X sebanyak dua buah dengan bentuk batang lurus. Kromosom Y hanya dimiliki oleh Drosophila melanogaster jantan dengan bentuk sedikit bengkok pada salah satu ujungnya dan lebih pendek dari kromosom X. Drosophila melanogaster jantan memiliki satu buah kromosom X dan satu buah kromosom Y. Oleh karena itu, formula kromosom untuk Drosophila melanogaster betina adalah 3AA + XX (dengan 3 pasang autosom + 1 pasang kromosom X), sedangkan untuk Drosophila melanogaster jantan adalah 3AA + XY (3 pasang autosom + sebuah kromosom X + sebuah kromosom Y) (Suryo. 1990: 164-165). Lalat buah (Drosophila melanogaster) jantan mahupun betina dewasa yang telah matang dapat dilihat perbedaannya walaupun dengan kasat mata. Perbedaan tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Drosophila melanogaster betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan Drosophila melanogaster jantan.
2. Bagian abdomen (perut) Drosophila melanogaster betina terdapat garis-garis hitam yang tebal pada bagian dorsal hingga ujung abdomen. Bagian abdomen Drosophila melanogaster jantan juga terdapat pola garis hitam yang tebal di sepanjang abdomen bagian dorsal, akan tetapi garis hiam di bagian ujung abdomennya berfusi.
3. Bagian ujung abdomen Drosophila melanogaster betina lancip, kecuali ketika sedang dipenuhi telur-telur, sedangkan ujung abdomen Drosophila melanogaster jantan membulat dan tumpul.
4. Khusus Drosophila melanogaster jantan terdapat karakter khusus berupa sex comb yaitu kira-kira 10 bulu berwarna gelap yang terletak di tarsal pertama pada kaki depannya. Sex comb adalah ciri utama Drosophila melanogaster jantan. Sex comb dapat dipakai untuk mengidentifikasi jenis kelamin lalat buah pada dua jam pertama setelah lalat tersebut menetas, ketika bentuk dan pigmentasi lalat tersebut belum berkembang sempurna (Jones & Rickards. 1991: 51).
Bristle adalah rambut-rambut halus yang terletak pada ujung posterior dari toraks bagian dorsal yang berfungsi untuk sensor mekanik. Halter merupakan sepasang sayap yang tereduksi dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh pada saat terbang (Jones & Rickards. 1991: 52).
Ciri-ciri Drosophila melanogaster ¬normal (wild type) adalah sebagai berikut:
1. Drosophila melanogaster tipe liar (wild type) memiliki mata bulat lonjong dengan warna merah cerah. Warna pigmen mata pada Drosophila melanogaster berasal dari pigmen pteridin dan ommochrome (Klug & Curmings. 1994: 97).
2. Lalat tipe liar memiliki warna tubuh cokelat keabu-abuan dengan panjang ukuran sayap normal (Campbell dkk. 2002: 282).
3. Indikasi sayap normal adalah sayap yang panjangnya lebih panjang melebihi panjang tubuhnya (Campbell dkk. 2002: 282).
Hal yang harus diperhatikan dalam pengamatan terhadap Drosophila melanogaster adalah jenis kelamin, keadaan mata, keadaan sayap, dan warna tubuh. Mutasi yang terjadi pada mata Drosophila melanogaster diantaranya adalah:
1. White (w) merupakan mutan dengan warna mata putih karena tidak memiliki pigmen pteridin dan ommochrome. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 1,5.
2. Vermilion (v) merupakan mutan dengan warna mata merah yang sangat terang (warna vermilion). Mutasi teradi pada kromosom nomor 1, lokus 33.
3. Bar (B) merupakan mutan dengan bentuk mata yang sipit. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 57.
4. Carnation (car) merupakan mutan dengan warna mata seperti anyelir. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 62,5.
5. Purple (pr) merupakan mutan dengan mata warna ungu. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 54,5.
6. Brown (bw) merupakan mutan dengan mata warna cokelat. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 104.
7. Lobe (L) merupakan mutan dengan mata yang tereduksi, sehingga mata terlihat sangat kecil dan tidak berbentuk bulat lonjong. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 72,0.
8. Cinnabar (cn) merupakan mutan dengan mata berwarna merah sedikit agak orange. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 57,5.
9. Star (S) merupakan mutan dengan mata kasar dan kecil. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 1,3.
10. Sepia (se) merupakan mutan dengan mata warna cokelat tua agak kehitaman, hal tersebut karena mutan kelebihan pigmen sepiapterin. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 26.
11. Scarlet (st) merupakan mutan dengan mata warna merah tua. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 44.
12. Rough (ro) merupakan mutan dengan permukaan mata yang agak kasar dan faset abnormal. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 91,1.
13. Claret (ca) merupakan mutan dengan mata berwarna merah anggur atau merah delima (ruby). Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 100,7.
14. Eyemissing (eym) merupakan mutan yang tidak mempunyai organ mata. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 4, lokus 2,0.
Mutasi yang terjadi pada sayap Drosophila melanogaster adalah sebagai berikut:
1. Cut wings (ct) merupakan mutan dengan sayap yang terpotong. Mutasi terjadi pada kromosom nomoe 1, lokus 20.
2. Miniature (m) merupakan mutan dengan panjang sayapnya sama dengan panjang tubuhnya. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 36,1.
3. Dumpy (dp) merupakan mutan dengan bentuk sayap yang terbelah sehingga panjang sayap tampak hanya dua per tiga dari panjang sayap normal.
4. Vestigial (vg) merupakan mutan dengan sayap yang tereduksi yang berarti panjang sayap mutan jauh lebih pendek dibanding panjang sayap Drosophila melanogaster normal, akibatnya Drosophila melanogaster dengan bentuk sayap tersebut tidak dapat terbang. Mereka hanya mengandalkan bristle sebagai alat sensor mekaniknya.
5. Curly (Cy) merupakan mutan dengan sayap melengkung ke atas, baik pada saat terbang mahupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 50,0.
6. Taxi (tx) merupakan mutan dengan sayap yang terentang, baik ketika terbang mahupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 91,0.
Mutasi pada warna tubuh Drosophila melanogaster adalah sebagai berikut:
1. Yellow (y) merupakan mutan dengan warna tubuh kuning. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 0,0.
2. Black (b) merupakan mutan dengan warna tubuh hitam pekat. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 48,5.
3. Ebony (e) merupakan mutan dengan warna tubuh gelap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 70,7
(Russell. 1994: 113).
Untuk menandai Drosophila melanogaster alel tipe normal dari gen beberapa lokus sering digunakan tanda +. Alel mutan diberi simbol dengan menggunakan huruf pertama atau dua huruf pertama dari kata yang mendeskripsikan mutasi tersebut. Misalnya bw adalah simbol untuk alel mata cokelat, vg untuk alel sayap vestigial, dan w untuk alel mata putih. Alel tipe liar yang cocok dapat diberikan tanda +, atau bisa juga dibedakan dengan cara menuliskannya bw+, vg+, dan w+. Alel mutan resesif dituliskan dengan huruf kecil (misalnya vg), sementara alel mutan dominan dituliskan dengan huruf kapital (misalnya B untuk alel mata Bar, atau B+ untuk alel mata normal) (Jones & Rickards 1991: 53). Cara penulisan suatu individu mutan Drosophila melanogaster adalah dengan mengurutkan mulai dari seks, keadaan mata, keadaan sayap, dan warna tubuh. Contahnya adalah sebagai berikut:
1. Drosophila melanogaster jantan normal, maka penulisan notasi individu tersebut adalah: ♂ w+ w+ m+ m+ e+ e+.
2. Drosophila melanogaster betina dengan sayap tereduksi, maka penulisan notasi individu tersebut adalah: ♀ w+ w+ vg vg e+ e+.
3. Drosophila melanogaster betina dengan mata putih dan tubuh berwarna kuning, maka penulisan notasi individu tersebut adalah: ♀ w w m+ m+ y y.
4. Drosophila melanogaster jantan dengan warna tubuh hitam dan sayapnya melengkung ke atas, maka penulisan notasi individu tersebut adalah: ♂ w+ w+ cy cy b b.
5. Drosophila melanogaster jantan dengan warna tubuh gelap dan memiliki mata sipit, maka penulisan notasi individu tersebut adalah: ♂ B B m+ m+ se se.

III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum pengamatan Drosophila melanogaster dan mutan-mutannya adalah botol etherizer, busa penutup, botol spesimen, cawan petri, kuas nomor 6, lup, pipet tetes, dan mikroskop stereo.
B. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pengamatan Drosophila melanogaster dan mutan-mutannya adalah sediaan Drosophila melanogaster normal dan mutan-mutannya dan larutan dietileter.

C. CARA KERJA
1. Sebelum Drosophila melanogaster dikeluarkan dari botol asalnya, terlebih dahulu botol tersebut digoyang-goyangkan agar lalat-lalat yang hinggap di sekitar dinding botol turun ke permukaan bawah botol. Setelah lalat berada di permukaan bawah, lalat telah siap untuk dipindahkan.
2. Drosophila melanogaster dipindahkan ke botol etherizer setelah dipastikan bahwa lalat tersebut berada di permukaan bawah botol asalnya, dan dengan gerakan cepat busa penutup botol dibuka.
3. Kedua mulut botol segera ditempelkan setelah busa penutup dibuka dan harus dipastikan bahwa tidak ada celah sedikit pun antara kedua mulut botol.
4. Setelah botol etherizer segera ditutup dengan busa penutupnya, kemudian kapas di tengah busa ditetesi larutan dietileter secukupnya.
5. Botol yang telah ditetesi larutan dietileter didiamkan sebentar hingga lalat-lalat di dalamnya terbius atau pingsan.
6. Selanjutnya penutup botol dibuka, kemudian lalat normal tersebut dipindahkan ke dalam cawan petri dengan menggunakan kuas untuk diamati.
7. Drosophila melanogaster yang telah diletakkan di atas cawan petri kemudian diamati dengan lup dan mikroskop stero.
8. Drosophila melanogaster yang telah diamati kemudian dicatat dan digambar untuk mempermudah pengidentifikasian.

IV. PEMBAHASAN
Praktikum genetika mengenai mutasi menggunakan Drosophila melanogaster sebagai objek pengamatan. Hal pertama yang praktikan lakukan adalah mengisolasi Drosophila melanogaster dari botol spesimen ke botol etherizer. Sebelumnya, botol spesimen digoyangkan atau ditepuk-tepuk terlebih dahulu, tujuannya agar lalat yang hinggap di sisi dinding botol turun ke dasar permukaan botol. Botol etherizer disiapkan dalam posisi terbalik atau posisi bibir botol berada di bawah, tepat di atas botol spesimen, tujuannya agar lalat lebih mudah pindah ke botol di atasnya.
Kedua busa penutup botol dibuka, dan dengan gerakan cepat, kedua bibir botol ditempelkan satu sama lain, dipastikan rapat tanpa celah. Tujuannya agar tidak ada lalat yang lolos keluar botol ketika dipindahkan ke botol etherizer. Drosophila melanogaster pindah secara perlahan menuju botol etherizer. Setelah beberapa ekor Drosophila melanogaster berhasil dipindahkan ke botol etherizer, kedua botol segera ditutup kembali dengan busa penutupnya, dengan gerakan yang cepat pula.
Kemudian, praktikan meneteskan beberapa tetes ether ke tengah busa penutup botol agar tepat sasaran dengan menggunakan pipet tetes. Praktikan menunggu hingga Drosophila melanogaster di dalam botol etherizer tidak bergerak lagi atau dengan kata lain terbius. Pembiusan Drosophila melanogaster dengan menggunakan larutan dietileter bertujuan untuk menjaga Drosophila melanogaster tetap berada dalam keadaan pasif atau diam ketika diamati (Jones & Rickards. 1991: 48--50).
Setelah Drosophila melanogaster terbius, praktikan memindahkan lalat tersebut ke atas gelas arloji dengan menggunakan kuas nomor 5. Penggunaan kuas bertujuan agar lalat tidak mengalami luka sedikitpun ketika dipindahkan karena permukaan bulu kuas yang lembut. Penggunaan gelas arloji berfungsi sebagai wadah untuk Drosophila melanogaster ketika diamati di bawah mikroskop. Sebelum diamati di bawah mikroskop, spesimen diamati dengan menggunakan lup. Penggunaan lup dalam pengamatan bertujuan agar Drosophila melanogaster lebih mudah untuk diamati oleh praktikan (Jones & Rickards. 1991: 51).
Setelah diamati dengan menggunakan lup, Drosophila melanogaster juga diamati dengan menggunakan mikroskop. Mikroskop yang digunakan adalah jenis mikroskop stereo. Penggunaan mikroskop stereo berfungsi agar spesimen yang diamati di bawah mikroskop dapat terlihat lebih jelas bila dibandingkan dengan pengamatan menggunakan lup. Hal tersebut dilakukan karena mikroskop stereo memiliki medan kerja yang lebih besar.
Alasan menggunakan Drosophila melanogaster dalam percobaan adalah merupakan organisme yang baik untuk mempelajari genetika, khususnya mutasi. Penggunaan Drosophila melanogaster dalam pengamatan tersebut mempunyai banyak keuntungan, diantaranya Drosophila melanogaster adalah organisme yang memiliki jumlah kromosom yang sedikit, yaitu 2n = 8 (Jones & Rickards 1991: 48). Drosophila melanogaster juga memiliki siklus hidup yang pendek dan memiliki banyak karakter mutan. Drosophila melanogaster memiliki siklus hidup yang pendek yaitu sekitar 10-12 hari, dengan menghasilkan telur yang banyak tiap kali Drosophila melanogaster betina bertelur, sehingga mudah dirawat dan mempunyai banyak karakter mutan. Drosophila melanogaster memiliki tiga pasang kromosom penting, yang mempunyai sistem kromosom XX / XY untuk penetapan kromosom seks, mempunyai kromosom raksasa pada kelenjar ludah dari larvanya, dan pada Drosophila melanogaster janan tidak ditemukan crossing over atau pindah silang saat meiosis terjadi (Jones & Rickards 1991: 48).
Hasil yang berhasil didapatkan praktikan selama praktikum adalah Drosophila melanogaster normal jantan dan betina serta mutan-mutan Drosophila melanogaster. Drosophila melanogaster normal jantan yang praktikan amati memiliki ciri-ciri terdapat pola garis hitam di sepanjang abdomen dorsalnya dengan pola garis yang berfusi di bagian ujung abdomennya. Bentuk ujung abdomen Drosophila melanogaster jantan agak membulat dan tumpul. Praktikan mengamati ujung abdomen Drosophila melanogaster berbentuk lebih lancip dan menajam bila dibandingkan dengan ujung abdomen Drosophila melanogaster jantan, dengan pola garis di ujung abdomen dorsalnya tidak berfusi. Berdasarkan literatur sudah sesuai dengan yang telah dipraktikumkan.
Mutan-mutan Drosophila melanogaster yang sudah diamati selama praktikum berlangsung adalah sebagai berikut:
1. Yellow white (yw): praktikan mengamati mutan tersebut memiliki warna badan secara keseluruhan kuning dengan mata berwarna putih. Artinya, lalat tersebut mengalami dua mutasi. Berdasarkan literatur, Drosophila melanogaster mutan white memiliki warna mata putih dan mutan yellow memiliki warna tubuh kuning secara keseluruhan (Russell. 1994: 113).
2. Black (b): secara keseluruhan lalat tersebut memiliki warna tubuh hitam pekat dengan warna mata dan bentuk sayap normal. Berdasarkan literature, Drosophila melanogaster mutan black memiliki warna tubuh hitam pekat (Russell. 1994: 113).
3. Taxi (tx): praktikan mengamati sayap mutan taxi agak merentang ke arah kanan dan kiri bagian tubuhnya. Berdasarkan literatur, mutan taxi memiliki sayap yang selalu merentang baik ketika terbang mahupun hinggap (Russell. 1994: 113).
4. Dumpy (dp): praktikan mengamati sayap mutan dumpy terbelah sehingga terlihat lebih pendek dari yang normal. Berdasarkan literatur, mutan dumpy memiliki sayap yang terbelah sehingga panjang sayap terlihat hanya dua per tiga dari panjang sayap Drosophila melanogaster normal (Russell. 1994: 113).
5. Eyemissing (eym): praktikan mengamati Drosophila melanogaster mutan eyemissing tidak dilengkapi dengan organ mata. Berdasarkan literatur, mutan eyemissing tidak memiliki organ mata (Russell. 1994: 113).
6. Vestigial (vg): praktikan mengamati sayap Drosophila melanogaster mutan vestigial tidak terlihat, sehingga lalat tersebut tidak bisa terbang. Berdasarkan literatur, mutan vestigial tidak memiliki sayap karena sayap tereduksi (Russell. 1994: 113).

VI. KESIMPULAN


1. Mengetahui dan memahami pengertian mutasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi mutasi.
2. Ada beberapa perbedaan morfologi antara Drosophila melanogaster jantan dengan betina antara lain ukuran tubuh Drosophila melanogaster betina lebih besar dari tubuh jantan, pola garis hitam pada abdomen dorsal Drosophila melanogaster jantan berfusi di ujung abdomen sementara pada betina tidak berfusi, serta ujung abdomen Drosophila melanogaster jantan tumpul dan membulat sementara ujung abdomen Drosophila melanogaster betina lancip dan menajam.
3. Mengetahui perbedaan antara Drosophila melanogaster fenotip normal dengan fenotip mutan biasanya muncul pada bagian mata, keadaan sayap, dan warna tubuh sesuai dengan tempat dimana biasanya mutasi pada Drosophila melanogaster terjadi.

V. DAFTAR ACUAN
Campbell, N.A., J.B. Reece, & L.G. Mitchell. 2002. BIologi. Edisi kelima-Jilid-1. Terj. dari Biology oleh Lestari, R. Erlangga, Jakarta: xxi + 438 hlm.
http://www.exploratorium.edu/imaging_station/gallery.php. 16 Februari 2010, jam 15:55
Jones, R.N., G.K. Rickards. 1991. Practical Genetics. Open University Press. Milton Keynes: xii + 228 hlm.
Pai, A.C. 1992. Dasar-dasar Genetika. Terj. dari Apandi, M. Erlangga. Jakarta: x + 438 hlm.
Rittner, Don dan Timothy L. McCabe. 2004. Encyclopedia of Biology. Facts On File, Inc. New York: xiii + 381 hlm.
Russell, P.J. 1994. Foundamental of Genetics. Harper Collins College Publishers. New York: xiii + 528 hlm.
Sadava, D. 2004. Life: The Science of Biology. 5th ed. Sinauer Associates, Inc.
Suryo. 1990. Genetika Strata I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: xvi + 344 hlm.

 
ADDANA UpDate © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone