I. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami hukum pewarisan sifat Mendel pada penyilangan monohibrid dan dihibrid.
2. Melakukan penyilangan monohibrid antara Drosophila melanogaster normal dan mutan.
3. Membuktikan kesesuaian hasil penyilangan monohibrid Drosophila melanogaster dengan uji “goodnes of fit “ (chi-square).
II. TEORI
Praktikum sebelumnya telah kita ketahui bahwa lalat Drosophila melanogaster memiliki ciri-ciri secara tampak luar (fenotip) hampir sama dengan induknya, tetapi secara genotip penyilangan lalat tersebut ada yang homozigot dan ada yang heterozigot. Penyilangan tersebut memiliki dua hukum Mendel yaitu hukum segregasi dan hukum asortasi. Penyilangan segregasi atau biasa dikenal monohibrid adalah penyilangan antara dua individu parental yang memiliki satu sifat beda (Klug. 1994:
52). Filial 1 ialah keturunan dari parental (induknya), sedangkan Filial 2 ialah keturunan dari filial 1 (anakan yang dihasilkan (Klug&Cummings 1994: 52). Hukum penyilangan kedua adalah asortasi atau dihibrid adalah penyilangan dua individu dengan dua sifat beda (Strickberger 1985: 113). Penyilangan dihibrid menghasilkan enam belas kombinasi dengan empat macam fenotip dan rasio fenotip yang dihasilkan adalah 9:3:3:1 (Suryo 1994: 94).
Percobaan penyilangan monohibrid dan dihibrid yang dilakukan oleh Mendel adalah menggunakan kacang ercis (pisum sativum). Pertama, untuk membuktikan penyilangan monohibrid Mendel menggunakan karakter satu sifat berupa biji bulat dengan biji keriput dalam percobaan nya. Mendel menyilangkan kedua jenis tanaman secara buatan (oleh Mendel sendiri) dengan cara mengambil serbuk sari dari bunga berbiji bulat ke bunga berbiji keriput dan sebaliknya sehingga menghasilkan anakan pertama yang disebut F1 karena yang dihasilkan oleh tanaman induk berlainan sifat. Mendel menanam semua biji bulat F1-nya yang berjumlah 253 tanaman. Mendel melanjutkan percobaan dengan cara bunga-bunga F1 dibiarkan melakukan penyerbukan sendiri secara wajar dan dari tanaman F1 tersebut, Mendel memperoleh generasi F2 sebanyak 7324 biji. Mendel memperoleh 5474 jenis biji bulat dan 1850 jenis biji keriput sehingga menghasilkan perbandingan 3 : 1 (Kimbal 1992: 221).
Data yang diperoleh dari penyilangan tersebut Mendel mengambil kesimpulan penyilangan monohibrid bahwa pada saat pembentukan gamet, gen-gen yang menenukan sifat akan memisah (segregasi). Prinsip tersebut disebut sebagai the law of segregation of allelic genes (Hukum pemisahan gen yang se-alel) atau dikenal hukum Mendel I (Suryo 1994: 91).Kedua, untuk membuktikan penyilangan dihibrid Mendel
menggunakan dua karakter sifat beda sehingga mengasilkan enam belas anakan F2 dengan empat macam fenotip dan rasio fenotip yang dihasilkan adalah 9:3:3:1 (Suryo 1994: 94). Mendel menyusun hukumnya yang kedua yang menyatakan bahwa gen-gen dari pasangan alel akan memisah secara bebas ketika berlangsung pembelahan reduksi (meiosis) pada waktu pembentukan gamet-gamet. Hukum Mendel II disebut hukum
pengelompokan gen secara bebas (asortasi). Hukum tersebut menyatakan bahwa gen-gen mengelompok secara bebas dengan gen lain yang bukan alelnya pada pembentukan gamet. Kebenaran hukum tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan penyilangan dengan memperhatikan dua sifat beda atau dihibrid (Russell 1994: 101).Percobaan yang dilakukan oleh praktikan dalam praktikum penyilangan monohibirid dan dihibrid adalah menggunakan lalat Drosophila melanogaster. Drosophila melanogaster mengalami metamorfosis sempurna (Gambar 1), terdiri atas telur, larva, pupa dan
imago. Fase telur memerlukan waktu 0-21 jam. Fase larva terbagi lagi menjadi tiga fase yaitu instar I yang memerlukan waktu 24 jam untuk berkembang menjadi larva instar II, larva instar II yang membutuhkan waktu 54 jam untuk menjadi larva instar III serta larva instar III yang memerlukan waktu 96 jam untuk berubah menjadi pupa, setelah itu pupa akan tumbuh menjadi imago (Stine 1973:1). Alasan menggunakan Drosophila melanogaster dalam percobaan karena Drosophila melanogaster adalah insekta yang memiliki jumlah kromosom yang sedikit, yaitu 2n = 8. Drosophila melanogaster memiliki siklus hidup yang pendek yaitu sekitar 10-12 hari, dengan menghasilkan telur yang banyak tiap kali Drosophila melanogaster betina bertelur, sehingga mudah dirawat dan mempunyai banyak karakter mutan dan pada fase dewasa awal merupakan masa lalat Drosophila melanogaster melakukan perkawinan
(Jones & Rickards.1991: 48).
Hasil penyilangan fenotip F2 terkadang tidak selalu sama dengan hasil perhitungan hukum Mendel. Untuk mengujinya perlu dilakukan perhitungan dengan uji chi-square. Uji chi-square merupakan suatu metode statistik dengan penentu apakah penyelewengan hasil penyilangan tidak sesuai dengan hipotesis perhitungan atau tidak. Untuk menentukan derajat kebebasan X2 (degree of Freedom (df) adalah dengan mengurangi macam fenotip yang dihasilkan melalui penyilangan dengan 1 (df = n-I) (Klug & Cummings 1994: 67-68). Metode Chi-square yang digunakan dalam uji statistik dilakukan beberapa tahap yaitu :
1. Pembuatan hipotesis
Ho = Hasil penyilangan sesuai hukum Mendel
Ha = Hasil penyilangan hasil perhitungan yang tidak sesuai dengan hukum Mendel
2. Taraf kepercayaan
Batas kepercayaan (level of significance) yang di berikan bagi seorang peneliti adalah 5% atau α = 0,05.
3. Kriteria pengujian
Apabila X2 perhitungan hasil penyilangan > X2 tabel, Ho ditolak .
Apabila X2 perhitungan hasil penyilangan < X2 tabel, Ho diterima
(Strickberger 1985: 107).
III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum penyilangan Drosophila melanogaster dan mutan-mutannya adalah botol etherizer, busa penutup, botol spesimen, cawan petri, kuas halus, lup dan pipet tetes.
B. BAHAN
Bahan yang digunakan dalam praktikum ialah larutan dietil eter, koloni Drosophila melanogaster normal beserta mutan-mutannya, tisu, medium pemeliharaan, dan kertas saring.
C. CARA KERJA
1. Pembuatan medium
a. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan medium pemeliharaan Drosophila melanogaster ialah botol gelas medium, busa penutup, kertas tisu kasar, air suling (akuades), agar-agar, gula aren, pisang ambon, asam sorbat, methyl paraben, ragi (yeast), dan alkohol 95%.
b. Cara membuat medium
1) Botol gelas, busa penutup, dan kertas tisu disterilisasi terlebih dahulu dengan cara dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam dengan suhu 60 -- 80 C.
2) Asam sorbat sebanyak 2,5 g yang dilarutkan ke dalam 120 cc alkohol 95% dan methyl paraben sebanyak 2,5 g dilarutkan ke dalam 120 cc alkohol 95% untuk pembuatan larutan anti jamur.
3) Pisang ambon lumut dikupas, ditimbang, dan dilumatkan dengan menggunakan blender tanpa menggunakan air.
4) Gula aren dan agar-agar dicampur bersama-sama ke dalam akuabides dan dididihkan di atas pemanas.
5) Pisang yang telah diblender dimasukkan ke dalam campuran gula aren dan agar-agar yang sudah mendidih.
6) Yeast, asam sorbat, dan methyl paraben sebanyak 5 cc dimasukkan ke dalam medium.
7) Medium dipanaskan sambil diaduk-aduk hingga mendidih.
8) Medium dimasukkan ke dalam botol yang berjumlah sekitar 30 botol.
9) Medium yang belum digunakan disimpan di dalam lemari es ( suhu 20 C).
2. Pemeliharaan Drosophila melanogaster
a. Lalat dimasukan ke dalam botol eterizer hingga pingsan.
b. Lalat dipilih sesuai yang kita inginkan dalam keadaan pingsan.
c. Lalat dipindahkan ke medium baru sebelum siuman.
d. Lalat dipindahkan dan diperhatikan secara hati-hati pada saat dimasukkan ke botol medium baru agar tidak tercebur ke dalam medium.
e. Koloni lalat disimpan di dalam lemari berventilasi dan di ruang yang bersuhu 25--30 C.
f. Koloni lalat diperhatikan siklus hidupnya sampai tumbuh menjadi lalat dewasa.
3. Pembiusan
a. Drosophila melanogaster baik normal maupun mutan-mutannya dipindahkan ke dalam botol yang kosong beralas busa dan diketuk dengan hati-hati agar lalat dapat jatuh ke dasar botol.
b. Drosophila melanogaster baik normal maupun mutan-mutannya dipindahkan dari botolnya ke botol eterizer dengan cara kedua mulut botol didekatkan dan dibuka tutup botol yang berupa gabus dan segera ditutup kembali.
c. Proses penutupan harus dilakukan dengan cepat dan tepat agar tidak ada Drosophila melanogaster yang keluar.
d. Zat kimia eter diberikan kepada Drosophila melanogaster dengan cara diteteskan dengan menggunakan pipet sebanyak 2-3 tetes pada penutup botol yang berupa gabus.
e. Zat eter juga dapat diberikan dengan menggunakan tisu yang telah diberi eter dan dimasukkan ke botol eterizer.
f. Drosophila melanogaster dipindahkan ke cawan petri setelah pingsan untuk diamati, dipilah, dan dihitung.
g. Drosophila melanogaster yang terbangun pada saat diamati di cawan petri dibius kembali dengan tisu yang telah diberi eter.
h. Drosophila melanogaster yang terlepas, harus segera dibunuh terutama lalat mutannya agar tidak memutasi yang lainnya.
4. Pengisolasian Virgin
a. Semua imago dari botol pemeliharaan yang sudah banyak mengandung pupa dikeluarkan hingga tidak ada satu pun lalat yang tertinggal.
b. Seluruh lalat yang baru keluar dari dari pupa dimasukkan ke dalam eterizer untuk dibius.
c. Lalat dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian dipilih betina yang masih virgin.
5. Penyilangan
a. Dengan perbandingan 1:3, 3 lalat virgin yang telah ditentukan dimasukkan ke dalam medium baru.
b. Drosophila melanogaster betina virgin normal atau mutan black disilangkan dengan Drosophila melanogaster jantan dari strain yang berbeda dalam jumlah yang hampir sama dengan lalat betina yang dimasukkan.
c. Botol pemeliharaan diberi tanda agar tidak tertukar setelah proses penyilangan.
d. Tanggal penyilangan dan notasi induk jantan dan betina dituliskan pada tanda.
e. Telur dan larva akan terlihat dalam waktu 2 sampai 4 hari. Bila tidak terlihat telur dan larva pada hari kedua sampai keempat, medium telah tekontaminasi oleh jamur.
f. Penyilangan yang berhasil ditandai dengan pertanaman lalat yang cepat dan terdapat banyak larva dan pupa.
g. Semua parental penyilang harus dikeluarkan agar tidak mengacaukan perhitungan keturunannya.
h. Kurang lebih sebanyak 200 keturunan dalam satu minggu akan dihasilkan oleh penyilangan yang baik.
6. Perhitungan hasil penyilangan
a. Lalat dibius dengan eter di dalam eterizer sampai pingsan.
b. Lalat dipindahkan ke dalam cawan petri.
c. Drosophila melanogaster dipisahkan menurut fenotip dan seksnya dengan menggunakan kuas kecil.
d. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lup
e. Jumlah Drosophila melanogaster dihitung sesuai dengan fenotip dan
seksnya.
IV. HASIL PENGAMATAN
Tabel siklus hidup Drosophila melanogaster di lampiran.
V. PEMBAHASAN
Perkembangan lalat Drosophila melanogaster mempunyai beberapa fase, yaitu telur, larva (instar I, instar II dan instar III), pupa (kepompong) dan dewasa sehingga fase ini disebut metamorfosis, yaitu perubahan dari larva menjadi lalat dewasa, terjadi di dalam kepompong pupa dan lalat akhirnya muncul (Campbell, dkk. 2002: 424). Jenis metamorfosis pada lalat Drosophila melanogaster termasuk metamorfosis sempurna karena melewati fase pupa (Hall 2002: 102--103). Metamorfosis Hari ke-0 –1 lalat seharusnya sudah mengeluarkan telur-telurnya dengan terlihat adanya bintik-bintik bening pada dinding medium. Hal ini bertujuan agar telur tidak menyentuh medium makanan karena dapat menyebabkan telur mati dan pada uji coba ini telur mulai terlihat pada hari ke-2. Hal tersebut sedikit berbeda dengan literatur yang menyatakan bahwa mulai pada hari ke-2 larva Drosophila melanogaster sudah menetas menjadi instar I (Geiger 2002: 2).
Tahap larva instar I mulai terlihat pada hari ke-4. Hal tersebut berbeda dengan apa yang dipaparkan di dalam literatur yang menyatakan bahwa pada hari ke-3 sampai dengan hari ke-4 sudah mulai terbentuk instar II (Geiger 2002: 2). Hari ke-7, tahap pupa sudah terbentuk dengan ciri-ciri larva sudah tidak melakukan aktivitas aktif makan dan melekat pada bagian yang kering, seperti dinding botol medium dan tisu kering bahkan beberapa melekat pada sumbatan busa. Hal tersebut dilakukan oleh larva agar pada fase pupa tidak membusuk dan perkembangannya maksimal. Literatur menunjukkan tahap pupa mulai terbentuk pada hari ke-8 dan tahap perkembangan membentuk pupa terjadi lebih cepat sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan teori (Geiger 2002: 2).
Hari ke-10 lalat F1 sudah terbentuk dan keluar dari pupa. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa lalat F1 akan muncul pada hari ke-11 sampai dengan hari ke-12 (Geiger 2002: 2). Pengaruh penyimpangan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan proses siklus lalat Drosophila melanogaster menjadi lebih cepat dari waktu normal, sedangkan pada temperatur yang lebih rendah dapat menyebabkan siklus lalat tersebut menjadi lebih lamban (Jones & Rickards. 1991: 50).
Faktor selain temperatur yang mempengaruhinya adalah tingkat keasaman pada medium makanan. Hal tersebut terjadi karena adanya ragi pada medium tersebut yang awalnya sebagai pemecah gula untuk memudahkan larva makan, walaupun di dalam medium tersebut sudah diberikan larutan methyl paraben jamur tetap tumbuh sehingga salah satu faktor penyebab kegagalan percobaan kelompok kami. Tetapi, pada penyilangan mutan black waktu yang dibutuhkan untuk membentuk F1 lebih cepat dibandingkan dengan yang normal, seperti tahap telur terlihat hari ke-2, larva hari ke-4, pupa hari ke-6 dan lalat dewasa muncul F1 hari ke-10. Perbedaan dapat dilihat pada jumlah F1 yang dihasilkan, mutan black menghasilkan lebih banyak F1 dibandingan dengan lalat wild type.
Proses kerja dalam praktikum ini, diantaranya pertama praktikan harus melakukan uji penyilangan untuk mendapatkan parental dengan cara koloni lalat normal (wild type) ditransfer ke dalam botol etherizer untuk melakukan pembiusan, kemudian setelah pingsan lalat tersebut dibius dengan menggunakan larutan dietil eter sebanyak 2--3 tetes melaui lubang yang ada yang telah disumabat kapas/tisu. Setelah pingsan lalat tersebut diletakan di atas cawan petri untuk pengidentifikasian dengan perbandingan 1:3 antara lalat jantan dan betina, kemudian koloni lalat dipindahkan ke dalam medium baru dan botol diberi tanggal dan notasi untuk penanda awal mula uji penyilangan dan perilaku ini juga dilakukan pengisolasian lalat mutan.
Kedua, pengisolasian betina virgin dengan cara koloni lalat hasil penyilangan wild type mahupun mutan ditransfer ke dalam botol etherizer yang berbeda untuk melakukan penyilangan dihibrid. Lalat dibius dan setelah lalat pingsan diletakan di atas cawan petri untuk diidentifikasi dengan lup memisahkan betina virgin, kemudian dimasukan ke dalam botol re-etherizer¬ dan dipindahkan ke botol medium baru.
Ketiga, penyilangan secara dihibrid dengan cara koloni lalat jantan disilangkan dengan lalat betina virgin yang ada di dalam botol medium dengan cara ditransfer sehingga kedua jenis lalat tersebut siap untuk melakukan perkawinan dan botol medium tersebut diberi tanggal dan notasi dengan catatan 3 betina wild type disilangkan dengan 1 jantan mutan black dan 3 betina mutan black dengan 1 wild type. Hal ini bertujuan agar hasil penyilangan mendapatkan hasil yang maksimal. Hal-hal yang harus diperhatikan selama penyilangan adalah suhu penyimpanan berkisar 25--30o C, ketika memasukkan lalat yang telah dibius, sebaiknya diletakan di dalam kertas saring dan sebelum 8 jam, lalat betina yang baru keluar dari pupa, harus segera diisolasi.
Keempat, melakukan perhitungan hasil penyilangan dengan cara koloni lalat hasil penyilangan ditransfer ke botol etherizer dan dibius menggunakan eter, kemudian lalat yang telah pingsan tersebut diambil menggunakan kuas dan diletakan di atas cawan petri dan dihitung dengan bantuan lup lebih jelas dan hasil perhitungan tadi ditulis di dalam tabel untuk melakukan perhitungan chi-square untuk membuktikan hukum Mendel (Jones & Rickards. 1991: 51).
Alat yang digunakan pada praktikum ini diantaranya botol etherizer berfungsi untuk tempat pembiusan lalat Drosophila melanogaster agar memudahkan pemindahan ke dalam botol pemeliharaan penyilangan monohibrid, cawan petri yang berfungsi sebagai tempat untuk mengamati jenis kelamin jantan atau betina karena dalam penyilangan tersebut membutuhkan dua botol spesimen yaitu untuk lalat normal dan jantan, kuas halus sebagai alat pemindah lalat ke dalam medium, lup digunakan agar pengamatan lebih jelas membedakan morfologi lalat tersebut.
Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan dietil eter untuk pembius lalat-lalat agar mudah dipindahkan , tisu sebagai dan kertas saring sebagai tempat peletakan lalat parental agar tidak melekat di atas medium makanan. Hal ini disebabkan karena jika lalat sampai terjatuh di atas medium, maka sayap atau kaki dari lalat tersebut akan sulit lepas sehingga menyebabkan lalat tersebut mati dan menyulitkan dalam percobaan. Medium pemeliharaan sebagai sumber makanan bagi larva-larva dari F1 jika sudah menetas dan parentalnya (Jones & Rickards. 1991: 50).
Bahan-bahan dalam pembuatan medium diantaranya air suling (akuades) berfungsi sebagai pelarut, agar-agar sebagai pengeras medium, gula aren sebagai sumber gula bagi lalat Drosophila melanogaster , pisang ambon sebagai bahan makanan lalat Drosophila melanogaster, asam sorbat dan methyl paraben dilarutkan dalam alkohol 95% bertujuan untuk mencegah kontaminasi dari luar dan ragi (yeast) berfungsi untuk mengubah gula kompleks menjadi gula yang sederhana. Methyl paraben memiliki nama lain, yaitu methyl-p-hydroxybenzoate (Oxford University 2004: 1). Hal tersebut sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa methyl-p-hydroxybenzoate berfungsi untuk menghambat pertumbuhan jamur, bakteri, dan kutu (Jones & Rickards. 1991: 49).
Berdasarkan pengamatan kelompok VB, percobaan penyilangan monohibrid yang sudah dilakukan menghasilkan Drosophila melanogaster wild-type berjumlah ++ (51--100) ekor, tetapi pada hari terakhir jumlah F1 sebanyak + (1--50) ekor, sedangkan Drosophila melanogaster mutan black berjumlah +++ (101--150) ekor. Hal tersebut berbeda dengan literatur yang praktikan peroleh yang menyebutkan penyilangan monohibrid menghasilkan F1 yang memiliki fenotip normal (Jones & Rickards. 1991: 55).
Langkah berikutnya untuk membuktikan kesesuaian hasil yang diperoleh dengan hukum Mendel dengan melakukan uji chi-square tidak bisa dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah data yang ada hanya berupa kisaran dan tidak valid sehingga tidak dapat membuktikan kesesuaian hukum Mendel karena syarat perhitungan chi-square adalah harus memiliki data hasil observasi penyilangan (Suryo 1994: 161).
VI. KESIMPULAN
1. Hukum pewarisan sifat hukum segregasi (monohibrid) dan hukum
asortasi (dihibrid) mempunyai beberapa perbedaan.
2. Penyilangan secara monohibrid pada lalat Drosophila melanogaster
dilakukan dengan cara menyilangkan sifat yang berbeda satu sama
lain.
3. Hasil penyilangan monohibrid lalat Drosophila melanogaster dapat
dibuktikan dengan uji chi-square.
VI. DAFTAR ACUAN
Ahluwalia, K.B. 2009. Genetics, 2nd ed. New Age International Publishers.
New Delhi: ix + 451 hlm.
Campbell dkk. 2002. Biologi,5th ed. Terj dari Biology, 5th ed. Lestari, Rahayu. Erlangga, Jakarta: xxii + 438 hlm.
Geiger, Pete. 2002. An introduction to Drosophila melanogaster. 3 hlm. http://biology.arizona.edu/sciconn/lessons2/Geiger/intro.htm, 16 Maret 2010, pk 17:47.
Goodwin, Tony. 2005. Our model: The fruitfly Drosophila melanogaster. 4 hlm. http://www.anatomy.unimelb.edu.au/researchlabs/whitington/index.html, 10 Maret 2010, pk. 17:19.
Hall, Jeffrey C. 2002. Advances in genetics, vol 47. Elsevier Science Imprint, California: vii + 151 hlm.
Jones, R. & G. K. Rickards. 1991. Practical genetics. John Willey & Sons, New York: 228 hlm.
Kimball, J.W. 1992. Biologi. Ed. ke-5. Erlangga, Jakarta: xiii + 333 hlm.
Klug, W.S & M.R. Cummings. 1994. Concepts of genetics. 4th ed. Prentice hall, New Jersey: xvi + 729 hlm.
Russel, Peter J. 1994. Fundamental of genetics. HarperCollins College Publisher, New York: xi + 528 hlm.
Srickberger, M. W.1985. Genetics. 3rd. ed. MacMillan Publishing
Company, New York: xxi + 446 hlm.
Suryo, H.1994. Genetika manusia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta: xiv + 446 hlm.
Yatim, Wildan. 1991. Genetika. Tarsito, Bandung: vii + 397 hlm.
PENYILANGAN DAN UJI STATISTIKA PENYILANGAN MONOHIBRID DAN DIHIBRID Drosophila melanogaster
Rabu, 02 Juni 2010
Label:
Laporan Praktikum
0 komentar:
Posting Komentar